Sepatutnya, sambung dia, pihak BPJN Provinsi Lampung saat akhir tahun anggaran jika ingin menyelesaikan kegiatan, seharusnya mengambil langkah untuk melakukan opname prestasi kegiatan, bukan malah laporan prestasi dibuat seratus persen agar serah terima bisa dilakukan dan dicairkan termin pembayarannya.
“Kalau bicara aturan, saya kira pihak BPJN Provinsi Lampung lebih mengerti tentang tertib administrasi dan penilaian terhadap kualitas bangunan. Seharusnya pihak BPJN Provinsi Lampung melalui tim serah terima dan PPK serta PPTK melakukan opname prestasi pekerjaan. Kalau dilapangan baru 70 persen, bayarkan saja senilai itu, jangan dibuat 100 persen. Putus dulu kontraknya, kalau mau dilanjutkan, nanti diawal tahun dibuatkan kontrak ulang untuk melanjutkan kegiatan. Kalau addendum waktu, dipandang kurang efektif, sebab kalau pemborong sudah terima uang, ya begini jadinya. Dan ingat, addendum waktu itu ada denda yang harus dibayarkan oleh oknum pemborong,” bebernya.
Pria berkumis itu juga meminta APH untuk jeli melihat pekerjaan tersebut. Penegak hukum diminta bekerja ekstra dan memfokuskan pada skandal proyek milik BPJN yang dikerjakan oleh perusahaan sekaliber komanditer lokal yang ditunjuk melalui E-katalog yang diduga ada lobi-lobi untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Ditambah lagi dengan kualitas pekerjaan yang dinilai tidak sesuai spesifikasi teknis serta mengabaikan keselamatan masyarakat pengguna jembatan gantung.
“Saya meminta APH untuk memeriksa pekerjaan jembatan gantung dengan nilai fantastis itu, Rp5,6 miliar yang tidak sesuai pengharapan masyarakat disana, serta diperparah dengan kondisi pekerjaan yang tak kunjung rampung, meski pekerjaan sudah diserahterimakan oleh tim PHO dengan dalih Addendum Kontrak,” tandasnya.##
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.