Prof. Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag.,PIA, Rektor Institut Agama Islam Negeri Metro
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang istimewa, karena didalamnya mengandung makna yang menjelaskan bahwa seorang muslim harus mampu. Mampu disini diartikan sebagai kemampuan secara fisik, keamanan dan finansial. Selain itu, proses ibadah haji juga membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang, oleh karena itu persiapan yang matang menjadi aspek penting untuk melaksanakan ibadah ini.
Kementerian agama dalam hal ini mengembang tantangan yang luar biasa dalam menjalankan dan mempetahankan kualitas layanan jamaah haji Indonesia. Kita dapat berkaca pada indeks kepuasa tahun 2022 yakni pemerintah berhasil menjaga kualitas layanan haji dengan mencapai indeks kepuasaan mencapai angka 90. Tahun 2023 ini merupakan tahun kedua penyelenggaraan ibadah haji setelah pandemic covid-19 melanda. Sebanyak 221.000 kuota jamaah haji Indonesia berada diperingkat pertama jumlah jamaah haji terbanyak di dunia.
Kementerian Agama yang dikomandoi oleh Gus Yaqut Cholil Qoumas (Gus Men) telah menunjukkan respon sigap dalam menangani kekhawatiran dan kendala yang muncul, dengan fokus pada keselamatan dan kesejahteraan jamaah haji. Para Petugas Penyelenggaran Ibadah Haji (PPIH) diminta oleh Gus Men untuk melayani dengan penuh hati dan berdedikasi tinggi. Pentingnya peran PPIH Gus Men meminta agar para petugas PPIH menjadi problem solver atas beragam persolan yang dihadapi jamaah. Gus men meminta agar para petugas bukan hanya memberikan pelayanan, namun menjadi problem solver atas masalah yang dihadapi jamaah di tanah suci.
Selanjutnya Gus men meminta agar para petugas sabar dalam bertugas, terlebih tahun 2023 kementerian agama mengangkat tagline “Haji Ramah Lansia” yang menjadi salah satu upaya untuk melayani jamaah lanjut usia. Para petugas haji melaksanakan tugas mereka dengan totalitas dan sepenuh hati, menjadikan kenyamanan dan kesejahteraan jamaah lansia sebagai prioritas utama dalam ibadah haji. Kerja sama yang baik antara jamaah haji dan petugas haji memegang peranan penting dalam kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji. Terakhir Gus Men meminta agar petugas dapat bekerja dengan tim (team work) dengan tujuan untuk membentuk tim agar bekerja sama mewujudkan cita bersama, memberikan pelayanan terbaik kepada para jamaah.
Tak hanya itu, Gus Men juga terlibat dalam pemantauan dan penanganan yang muncul selama penyelenggaraan haji. Berkat kerja keras Menteri Agama dan para petugas haji dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi jamaah haji, menunjukkan bahwa pemerintah memiliki peran dalam mewujudkan ibadah haji yang kondusif dan proses ibadah haji dapat berjalan dengan lancar.
Ibadah Haji dan Nilai Kemanusiaan
Sebagai ritus kehidupan Muslim Indonesia, ibadah haji identik dengan fase transisi menuju fase baru. Menurut tipologi Clifford Geertz, Vredenbergt membagi ritus kehidupan haji dalam tiga kategori:
Pertama, bagi anak muda ibadah haji menjadi penutup ideal setelah pendidikan dan sekaligus masa remaja. Jika seorang anak muda sudah berhaji, berarti dia memasuki status baru setelah berhaji; Kedua, Haji bagi usia lanjut. Bagi usia ini ibadah haji dianggap sebagai akhir dari perjalanan hidup untuk mengabdikan diri pada kehidupan beragama dan menutup fase baru; Ketiga, haji pensiunan, yakni melaksanakan haji setelah pensiun. Bagi mereka ibadah haji dianggap sebagai fase kehidupan baru.
Jika kita lihat kultur di Indonesia, penghormatan kepada jamaah haji diselenggarakan melalui upacara “walimat al-safar”. Upacara ini merupakan tradisi sakral dan biasanya dilakukan tujuh hari sebelum calon haji memasuki asrama haji yang dipimpin oleh kiai. Upacara yang diisi dengan ceramah agama berisi nasihat dan pesan-pesan haji itu juga dijadikan momentum permintaan maaf calon haji kepada sanak keluarga dan para tamu, karena keberangkatan haji juga dipahami sebagai ibadah yang mempertaruhkan jiwa dan raga. Pasrah untuk dipanggil oleh Allah SWT di Tanah Suci.
Haji di kalangan masyarakat Muslim juga dipahami sebagai media ”pembuktian” atas amal baik dan buruk sebelumnya. Ada kepercayaan, mereka yang sebelumnya berperilaku kurang terpuji, selama prosesi ibadah haji berlangsung, akan mengalami kesulitan. Misalnya, kehilangan barang, kesasar, diinjak-injak, dipukuli, dan sebagainya.
Sebaliknya, jika seseorang banyak memperoleh pertolongan dan kemudahan selama berhaji, serta-merta itu diklaim sebagai ganjaran atas perbuatan kebajikan sebelumnya. Mekkah diasumsikan sebagai ”miniatur akhirat” karena di situ ditunjukkan azab dan ganjaran.
Ibadah haji dibawa oleh Nabi Ibrahim AS sekitar 3.600 tahun lalu, dan kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satu bukti jelas simbol humanisme ibadah haji adalah adanya ajaran tentang egalitarianisme, melarang berkata-kata jorok (rafats), berbuat maksiat (fusuq), dan berseteru satu sama lain (jidal).
Dalam khotbah perpisahan (wada’), Nabi menekankan pentingnya makna persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta, dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penistaan pada kaum lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang lainnya.
Pesan Nabi itu menjadi bukti sejarah bahwa ada relasi signifikan antara ibadah haji dan nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme). Di balik doktrin-doktrin itu, ibadah haji juga membawa pengalaman kemanusiaan yang konkrit. Hal ini dapat dilihat dalam ritusnya, seperti ditanggalkannya pakaian keseharian dan menggantikannya dengan pakaian putih yang suci (ihram). Juga dilarang berulah, merusak lingkungan, serta menyakiti binatang, tanaman, dan terlebih lagi terhadap sesama manusia.
Penanggalan pakaian itu secara tak langsung menafikan sekat antara si kaya dan si miskin dan mengeliminasi perbedaan status sosial. Itulah harapan ideal ajaran ibadah haji yang merupakan simbol egalitarianisme. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusiaan yang sama (*)
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.