JAKARTA – Di tengah tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia saat ini, pemikiran Bung Hatta untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, gotong-royong dan keadilan sosial merupakan modal penting untuk menjawab tantangan itu.
“Pemikiran para pendiri bangsa terkait pembangunan perekonomian nasional sejatinya bisa kita cermati bersama sebagai bagian dari upaya untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi bangsa ini,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Relevansi Pemikiran Sosial Ekonomi Bung Hatta Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Hatta & LP3ES, Rabu (19/3).
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Prof. Sri Edi Swasono, M.P.I.A., Ph.D (Anggota Pembina Yayasan Hatta), Prof. Dr. Drs. Budi Agustono, M.S. (Guru Besar Universitas Sumatera Utara), Zaenal Muttaqin (Peneliti LP3ES/ Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), dan Dr. Ratna Sari, SE.,M.Si.,Ak.,CA (Dosen FEB Universitas Muslim Indonesia & Fasilitator Kementerian Koperasi RI), sebagai narasumber.
Selain itu hadir Dr. Usman Kansong (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI), sebagai penanggap.
Menurut Lestari, nilai-nilai yang ditanamkan para pendahulu bangsa bisa menjadi dasar pertimbangan bagi generasi kini dalam mengambil kebijakan menghadapi tantangan bangsa di sektor ekonomi.
Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat pemikiran untuk menerapkan nilai-nilai kedaulatan rakyat, gotong-royong dan keadilan sosial dalam proses pembangunan ekonomi yang diperkenalkan Bung Hatta bisa menjadi salah satu dasar dalam menerapkan kebijakan ekonomi nasional.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu berharap, generasi penerus dapat mengambil pelajaran dari sejumlah langkah para pendiri bangsa dalam menjawab berbagai tantangan di masa lalu.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar para pemangku kebijakan di tanah air saat ini dapat memahami dan mengamalkan nilai-nilai warisan para pendiri bangsa dalam menerapkan sejumlah kebijakan.
Anggota Pembina Yayasan Hatta, Sri Edi Swasono mengungkapkan, pada dasarnya ekonomi Pancasila itu mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 yang di dalamnya terdapat dasar-dasar demokrasi ekonomi.
Selain itu, jelas Sri Edi, juga didukung oleh Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 dan dieksplisitkan pada Sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sri Edi mengungkapkan, pada 1965 berdasarkan penugasan dari Departemen Urusan Research Nasional, ekonom Emil Salim menulis naskah berjudul Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia.
Pada naskah itu, jelas Sri Edi, Emil Salim menegaskan bahwa sistem ekonomi Indonesia sebagai sistem ekonomi sosialisme Pancasila.
Dalam pemikiran ekonomi Bung Hatta, ujar Sri Edi, asas kekeluargaan itu adalah brotherhood yang mengedepankan kerukunan dan solidaritas sehingga ada tanggung jawab bersama dalam setiap pengembangan perekonomian.
Menurut Sri Edi, Bung Hatta berpendapat sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi sosialis.
Sosialisme Indonesia, jelas dia, merupakan ekspresi jiwa bangsa Indonesia yang mendapatkan perilaku yang tidak adil di masa itu.
Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Budi Agustono berpendapat, pemikiran Bung Hatta sejak awal bertujuan untuk mewujudkan strategi perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.
Menurut Budi, Bung Hatta memiliki sahabat-sahabat luar biasa di luar negeri yang memiliki jejaring internasional di masa itu.
Kondisi itu, tambah dia, membuat pemikiran-pemikiran besar Bung Hatta terkait perjuangan Indonesia dan kemandirian bangsa cepat tersebar luas di dunia.
Dosen FEB Universitas Muslim Indonesia, Ratna Sari berpendapat, pemikiran Bung Hatta bahwa koperasi adalah wadah untuk membangun ekonomi kerakyatan masih relevan saat ini.
Paham kerakyatan, jelas dia, adalah bagaimana sistem ekonomi dan politik berpihak kepada rakyat.
Menurut Ratna, ada tiga prinsip pemikiran Bung Hatta yaitu terkait dengan kemandirian ekonomi, keadilan sosial dan demokrasi ekonomi.
Bung Hatta percaya, tambah dia, bahwa negara merdeka itu harus memiliki perekonomian yang mandiri dan koperasi adalah bentuk ekonomi yang sesuai dengan budaya Indonesia.
Dalam demokrasi ekonomi itu, tegas Ratna, rakyat memiliki kontrol atas sumber daya ekonomi yang ada. Sehingga, tambah dia, rakyat tidak hanya punya hak pilih, tetapi juga menentukan arah pembangunan ekonomi.
Peneliti LP3ES, Zaenal Muttaqin berpendapat pemikiran sosial ekonomi Bung Hatta menegaskan bahwa ilmu ekonomi itu digunakan untuk menciptakan kemakmuran rakyat.
Menurut Zaenal, pemikiran Bung Hatta mengungkapkan bahwa tidak mungkin ada kemakmuran tanpa keadilan. “Ini merupakan kunci dalam pelaksanaan pembangunan,” tegas Zaenal.
Zaenal juga berpendapat langkah efisiensi yang dilakukan pemerintah saat ini berpotensi menimbulkan terjadinya ketimpangan.
Potensi ketimpangan itu, jelas dia, dapat ditekan dengan menerapkan langkah-langkah sosial sehingga kemakmuran dapat tercapai.
Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Usman Kansong berpendapat, pemikiran Bung Hatta tentang ekonomi, politik dan sosial berbasis pada kedaulatan rakyat.
Dalam bidang politik, tambah Usman, pemikiran Bung Hatta mengarah pada penerapan demokrasi kerakyatan dengan kedaulatan berada di tangan rakyat.
Pada bidang sosial, misalnya pada pendidikan, tambah dia, pemikiran Bung Hatta mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memberdayakan rakyat yang puncaknya tentu adalah terwujudnya keadilan sosial.
Sementara pada bidang ekonomi, ujar Usman, pemikiran Bung Hatta merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 dan tentu saja koperasi. Bung Hatta mempelajari koperasi sampai negara-negara Skandinavia.
Menurut Usman, pemikiran Bung Hatta memberi corak ke-Indonesia-an dengan religiusitas terutama keislaman.
Sejumlah pemikiran Bung Hatta tersebut, ujar Usman, merupakan jalan tengah di antara komunisme dan liberalisme.
“Pertanyaannya apakah negara kita saat ini sudah benar-benar mengimplementasikan pemikiran-pemikiran Bung Hatta?” ujarnya.
Pada kesempatan itu wartawan senior Saur Hutabarat mengungkapkan Bung Hatta pada tingkat doktoral sempat pindah jurusan dari ekonomi ke Hukum Negara dan Hukum Administrasi.
Sehingga, jelas Saur, bisa dimengerti jika Bung Hatta mendapat sebuah frasa kuat yang berbunyi ‘Dikuasai oleh Negara.’
Selain itu, Bung Hatta adalah sosok ekonomis, hidup sederhana, menganjurkan rakyat menabung, dan tidak ngemplang utang.
“Bung Hatta membayar utangnya ketika diberi pinjaman beasiswa sekolah di Belanda. Ketika pulang dari Belanda dia bayar itu utangnya,” ujar Saur.
Saur juga mengajak untuk meneliti Perkumpulan Banda Muda yang dikelola Bung Hatta saat diasingkan ke Banda Naira.
Perkumpulan itu, jelas Saur, menginisiasi kegiatan olah raga, peminjaman buku, dan koperasi yang dapat memotong jalur distribusi hasil bumi ke tengkulak.(*)
Penulis : Heri Suroyo
Editor : Nara
Sumber Berita : MPR RI,
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.