LAPORAN : HERI
JAKARTA – Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie melihat tren perpanjangan masa jabatan pemimpin negara terjadi mulai 1990-an. Namun, hal tersebut terjadi pada negara-negara yang memiliki demokrasi lemah dan tak bermutu.
“Di Afrika, banyak itu, tapi banyak yang berhasil, banyak juga yang berdarah-darah, gagal,” ujar Jimly dalam sebuah diskusi daring.
Masa jabatan lebih dari dua periode juga terjadi di Rusia ketika Vladimir Putin memasuki periode keempatnya sebagai presiden. Perpanjangan masa jabatan pemimpin negara juga terjadi di Cina dengan Presiden Xi Jinping.
Di Indonesia, hal serupa pernah terjadi pada 1963 lewat Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 yang mengatur bahwa Soekarno ditetapkan menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS. Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 kemudian dicabut dan digantikan dengan Tap MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966.
“Artinya, demokrasi tanpa pergantian kekuasaan itu penyakit lama dari budaya feodal, dari sistem politik yang belum kuat, dan Indonesia bisa saja terjerumus ulang, bisa saja. Maka kita kekuatan reformasi, demokrasi harus mencegah ini,” ujar Jimly.
Jimly optimistis usulan perpanjangan masa jabatan pemimpin negara melalui amendemen UUD 1945 akan ditolak oleh DPR dan MPR. “Komposisi partai-partai di DPR, mayoritas tidak setuju ini penundaan, apalagi perpanjangan masa jabatan. Terutama partai pemerintah yang sudah siap berkompetisi, tidak pada mau, apalagi partai oposisi,” ujar dia.#
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.