Laporan : Rudi Alfian
LAMPUNG UTARA – Kepala Permukiman angkatan laut (Kimal) Lampung, Letkol Marinir Herman Sobli angkat bicara soal sengketa lahan antara masyarakat adat Penagan Ratu kampung empat serangkai Kecamatan Abung Timur dengan TNI AL Markas Kimal Lampung.
Dalam menyikapi persoalan yang terjadi, dirinya berpendapat, seyogyanya masyarakat dalam mengambil langkah harus lebih jernih menyikapinya, mengingat kedua belah pihak sama-sama berada di negara dengan berlandaskan hukum.
“Terkait dengan pergerakan masyarakat terhadap lahan TNI AL, untuk sengketa itu seharusnya melalui proses hukum agar dapat terang benderang. Karena negara kita ini berdasarkan hukum dan (ada) aturan.” terang Herman Sobli, saat dikonfirmasi awak media, Jumat, (10/11) kemarin.
Pihaknya berkeyakinan, bahwa TNI AL berdiri berdasarkan legalitas yang diakui oleh negara. Mengenai tuntutan pihak Jon Erik seluas 200 hektar, Kepala Kimal itu menyatakan bahwa berdasarkan SK Bupati lokasi itu inclave dan kini sudah menjadi perkampungan.
“Terkait tanah yang di klaim pihak Jon Erik itu, kita pernah mengadakan rapat di Pemda bahwa tanah yang di klaim Jon Erik 200 hektar itu ada datanya. Berdasarkan SK Bupati itu berada di enclave, bukan berada di tanah AL. Enclave itu sekarang sudah menjadi perkampungan dan sudah diserahkan kepada kakek beliau atas nama Nawawi,” ujarnya memaparkan.
Masih kata dia, bahwa ada rapat kembali dan muncul luasan lahan 1.118 hektar sebagaimana tuntutan pihak masyarakat adat.
“Lagi-lagi kita cek itu masuk di enclave dan sudah diserahkan kepada masyarakat,” tambahnya.
Kalaupun masyarakat, sambung dia, merasa ada lahan yang masuk di dalam lahan milik TNI AL, dirinya menyatakan agar (tuntutan) melalui proses hukum. Pihaknya akan layani berproses hukum dan jika nantinya memang terbukti, pihaknya akan menyerahkan objek yang di klaim. Letkol Marinir Herman Sobli meminta agar masyarakat jangan mudah terprovokasi dengan isu-isu yang dapat mecah belah keadaan. Tentunya dengan tetap mengedepankan persatuan.
“Ini tahun Pemilu saya berkewajiban menjaga stabilitas keamanan, kami harapkan kepada masyarakat jangan mudah terprovokasi. Ditelaah dulu, jangan di telan mentah-mentah dan dicari kebenarannya baru menarik kesimpulan,” himbau dia.
Terkait upaya masyarakat dan Forkompinda yang akan membawa persoalan ini hingga tingkat pusat, dirinya pun siap untuk turut mendampingi dan memfasilitasi.
“Dalam kurun waktu 60 hari Forkompinda akan membawa permasalahan dan upaya penyelesaian hingga ke Kementerian BPN dan Mabes AL nanti kita tunggu hasilnya,” tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, rencana aksi ratusan masyarakat adat Desa Penagan Ratu kampung empat serangkai Kecamatan Abung Timur guna menduduki ribuan hektare lahan yang diklaim merupakan tanah ulayat adat desa setempat yang kini diduga dikuasai oleh Kimal Lampung, ditunda hingga enam puluh hari kedepan.
Hal itu dikarenakan permintaan Forkompinda Lampung Utara (Lampura) dalam forum mediasi yang meminta waktu sebagai upaya menyelesaikan konflik dengan memfasilitasi penyelesaian melalui pemerintah pusat dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL).
“Sebenarnya kita sudah siap, disini sudah berkumpul sekitar 600 massa, ditambah yang sudah tiba di lokasi lahan. Namun karena permintaan Forkompinda dalam mediasi tadi, Pak Dandim dan Pak Kapolres langsung yang turun tadi, maka kita berikan waktu 60 hari kedepan untuk diselesaikan. Kalau sampai batas waktu yang ditentukan tidak terselesaikan, maka kami tidak bisa lagi menahan masyarakat,” kata Suwardi, Kuasa hukum masyarakat adat Desa Penagan Ratu, didampingi tokoh masyarakat setempat, Kamis, (09/11).
Menurut Suwardi, masyarakat adat setempat sejak puluhan tahun lalu sudah sangat menderita oleh ulah oknum yang telah merampas hak (lahan) menggunakan cara-cara intimidasi dan anarkis.
“Mereka (masyarakat) akan mengambil hak mereka yang sudah 48 tahun mereka berikan secara cuma-cuma kepada pihak Kimal yang dalam hal ini pada perusahaan yang hari ini dikuasai oleh perusahaan,” ungkap Suwardi.
“(Tanah) itu memang tanah ulayat dari masyarakat adat Penagan Ratu yang dulunya tempat itu bernama Sinar Penagan, sekarang (lokasi) itu Dorowati namanya. Dan itu luasnya 1.118 hektare. Dulu sempat mau diambil kembali, namun mereka menggunakan kekerasan, dan masih ada saksi hidupnya yang rumahnya dibakar dan ada yang ditahan beberapa hari,” timpalnya lagi.
Bahkan, kata dia, pihak Kimal Lampung dalam menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, selalu berubah-ubah petanya. Peta lahan (tanah) yang dimiliki Kimal Lampung dianggap tidak resmi (diakui) dan yang bukan dikeluarkan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional.
“Kalau yang resmi itu ada pada pihak tokoh adat, yang peta lama itu ada. Yang menunjukkan bahwa itu memang masuk tanah ulayat atau masuk tanah masyarakat di Penagan Ratu ini,” tandasnya.
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.