JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, menyatakan keprihatinannya terkait dampak rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terhadap industri tembakau.
Keprihatin tersebut disampaikan Yahya dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau” di Gedung Nusantara 1, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/24).
Menurut Yahya, perjuangannya dalam advokasi tembakau sudah berlangsung lebih dari 10 tahun, baik sebagai anggota DPR maupun saat tidak menjabat. Ia menegaskan bahwa perhatian utamanya bukanlah pada industri besar, melainkan pada para petani tembakau, buruh pabrik, pedagang kecil, dan asongan yang hidupnya bergantung pada industri ini.
“Kami khawatir dengan dampak peraturan ini bagi mereka yang berada di sektor kecil dan menengah, yang jumlahnya mencapai sekitar 5 hingga 6 juta pekerja,” ungkap Yahya.
Politikus Partai Golkar ini menyoroti pentingnya melihat industri hasil tembakau (IHT) dari tiga perspektif: rezim keuangan, perindustrian, dan kesehatan. Dari sisi keuangan, Yahya menjelaskan bahwa cukai rokok memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan negara. Pada tahun 2023, meskioun terjadi oenurunan, cukai rokok mencapai Rp213 triliun.
Namun, ia juga mencatat bahwa kenaikan cukai yang terjadi setiap tahun, meskipun tidak signifikan, memberatkan industri.
“Kenaikan cukai ini berdampak pada penurunan penerimaan negara di tahun 2024,” tambahnya.
Dari sisi perindustrian, Yahya mengapresiasi dukungan Kementerian Perindustrian yang selama ini membantu perjuangan IHT. Namun, ia menyesalkan bahwa peran kementerian ini tidak dilibatkan dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) No. 28 tahun 2004, yang menurutnya memberatkan industri tembakau.
“Rezim kesehatan seolah bercita-cita membumihanguskan industri hasil tembakau,” katanya.
Ia juga mengkritik turunan dari Undang-Undang No. 17 tahun 2023 yang dianggap sangat memberatkan industri.
“Meskipun tidak ada larangan bagi masyarakat untuk menanam tembakau, peredarannya dibatasi secara ketat,” jelasnya.
Untuk meminimalisir dampak dari peraturan ini, Yahya menyarankan tiga langkah strategis. Pertama, membangun opini publik yang seimbang, agar tidak didominasi oleh pandangan yang menentang tembakau.
“Forum-forum seperti ini perlu diperbanyak untuk memberikan pandangan dari berbagai sisi, baik dari segi ekonomi maupun cukai,” ungkapnya.
Kedua, melakukan lobi politik, terutama oleh para pemilik pabrik rokok besar. Yahya mengkritik para pengusaha besar yang dinilai pasif dalam menghadapi isu ini.
“Yang berjuang di lapangan adalah yang kecil-kecil, sementara yang besar menikmati pertengkaran ini,” tuturnya.
Ia mengusulkan agar lobi politik dilakukan kepada Presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk mengatur regulasi tembakau secara lebih adil.
Terakhir, Yahya membuka opsi judicial review terhadap PP No. 28 tahun 2014 dan Permenkes yang akan datang.
“Kalau merasa keberatan, jalur yudisial review ke Mahkamah Agung bisa menjadi pilihan,” tandasnya.
Penulis : Heri Suroyo
Sumber Berita : Jakarta
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.