JAKARTA – Sejumlah tantangan yang dihadapi industri funitur ukir Jepara harus segera dijawab bersama demi keberlangsungan seni ukir Jepara yang merupakan bagian dari warisan budaya bangsa.
“Seiring perkembangan zaman, seni ukir Jepara menghadapi tantangan yang kompleks dalam
upaya pelestarian, regenerasi perajin, hingga pemasaran,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Mengukir Masa Depan: Legenda Ukiran Jepara yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Jepara International Furniture and Craft Buyer Weeks 2025, Rabu (12/3).
Diskusi yang di moderatori Nur Amalia (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Ir. Reni Yanita, M.Si (Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka, Kementerian Perindustrian RI), Neli Yana, S. Sos, M. Si (Direktur Kriya Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif), Drs. Hadi Priyanto, M.M (Ketua Umum Yayasan Pelestari Ukir Jepara /Peluk Jepara), dan
Muhammad Jamhari (Ketua Konsorsium Jepara Gerak – Ketua Steering Committee (SC) Jepara International Furniture Buyer Weeks/ JIFBW 2025) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Sutrisno, S.Sn (Perajin Ukir – Jepara Carver) sebagai penanggap.
Lestari menuturkan, di masa lalu ukiran Jepara banyak diminati masyarakat lokal dan mancanegara.
Bahkan, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, pada era 1980-an furnitur ukir Jepara menjadi simbol status di masyarakat.
Selain itu, ujar Rerie, di Istana Negara pada masa itu juga dibuat ruang Jepara dengan dilengkapi ornamen, furnitur, dan kelengkapan ruang bernuansa ukir khas Jepara, untuk menerima tamu-tamu negara.
Namun, tegas Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, saat ini tantangan dalam bentuk tidak adanya regenerasi dan jauh berkurangnya para pengukir yang ahli, tengah dihadapi para perajin di Jepara.
Situasi industri furnitur ukir Jepara, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, cukup memprihatinkan sehingga sejumlah langkah strategis harus segera dilakukan untuk menyelamatkan salah satu warisan budaya bangsa itu.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka, Kementerian Perindustrian RI, Reni Yanita mengungkapkan produk furnitur ukir Jepara masuk dalam industri furnitur dan industri kerajinan.
Menurut Reni, saat ini seni ukir lebih banyak ditangani sebagai industri kerajinan. Saat ini pemerintah memiliki 578 sentra kerajinan di 29 provinsi di seluruh Indonesia.
Sementara itu, ungkap dia, industri furnitur saat ini tercatat ada 1.375 perusahaan besar dan 126.138 perusahaan kecil dan menengah.
Pemerintah, ujar Reni, melakukan pembinaan kepada para perajin melalui sentra-sentra industri furnitur dan kerajinan yang ada saat ini.
Diakui Reni, industri furnitur ukir Jepara merupakan industri padat karya yang berorientasi ekspor karena diminati pasar global.
Saat ini, ungkap Reni, kondisi pasar global dan konflik geopolitik yang terjadi mempengaruhi penurunan ekspor furnitur ukir Jepara.
“Harus mampu mencari pasar non-tradisional dan juga memanfaatkan permintaan pasar lokal sebagai salah satu alternatif membuka pasar baru,” ujarnya.
Direktur Kriya Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif, Neli Yana mengungkapkan sebagai kementerian baru pihaknya mengakui untuk seni ukir Jepara belum memiliki program yang khusus.
Menurut Neli, seni ukir Jepara bukan sekadar keterampilan, tetapi juga merupakan warisan budaya.
Neli berpendapat ide dan kreativitas merupakan penggerak utama dalam menghasilkan produk yang berkualitas.
“Seni ukir Jepara harus mampu mengikuti perkembangan zaman, tanpa meninggalkan ciri khasnya,” ujarnya.
Unsur pentahelix, tegas Neli, harus dilibatkan dalam upaya meningkatkan kembali daya saing seni ukir Jepara ke pasar dunia.
Ketua Umum Yayasan Peluk Jepara, Hadi Priyanto mengungkapkan seni ukir Jepara merupakan bagian dari budaya di Jepara.
Seni ukir, tambah Hadi, sudah mengemuka sejak masa lalu ketika Jepara merupakan kota perdagangan yang ramai.
Bahkan, ungkapnya, singgasana Ratu Shima pada abad ke-6 terbuat dari gading gajah yang berukir. Selain itu pada masa Ratu Kalinyamat (1559) membangun Masjid Mantingan yang dipenuhi dengan ornamen ukiran. “Saya kira itu artefak ukir yang cukup tua,” ujarnya.
Menghilangnya muatan lokal seni ukir dari kurikulum wajib, menurut Hadi, mempercepat hilangnya generasi yang mahir mengukir di Jepara.
“Lulusan SMK ukir saat ini belum bisa mengukir,” tambah Hadi.
Menurut Hadi, dalam upaya pelestarian seni ukir kita harus melakukan dengan sungguh-sungguh.
Selain itu, tambah dia, diperlukan sinergi antar-para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas dan keahlian ukir masyarakat.
Menghidupkan budaya cinta seni ukir bagi generasi muda melalui pendidikan, ujar Hadi, merupakan langkah penting untuk mendorong regenerasi pengukir di masa depan.
Ketua Steering Committee JIFBW 2025, Muhammad Jamhari mengungkapkan pelaksanaan JIFBW 2025 di Jepara dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi budaya dan sisi pasar/bisnis.
Menurut Jamhari, bagaimana pun upaya alamiah untuk pengembangan seni ukir dengan membuat produk ukir yang bisa memenuhi kebutuhan pasar. ***
Saat ini, tambah dia, seni ukir Jepara menghadapi tantangan karena selera konsumen berubah. Di sisi lain, pelaku industri masih kaku dengan memanfaatkan strategi lama.
Menurut dia, berbagai upaya memperkenalkan produk ukir Jepara lewat pameran dilakukan sejak 2010.
Berbagai konsep pameran, tambah Jamhari, diterapkan mulai dari pameran luring dan daring, sampai menyediakan meeting point bagi para calon pembeli dari luar negeri.
Perajin Ukir Jepara, Sutrisno berpendapat strategi penguatan seni ukir Jepara melalui pendidikan dan pemberian insentif diakuinya cukup sulit.
Karena generasi muda, tambah Sutrisno, saat ini kurang memiliki rasa ingin tahu terhadap ukir Jepara.
Even-even yang menampilkan hasil karya para pengukir, jelasnya, harus terus diperluas untuk menarik minat masyarakat terhadap seni ukir Jepara.(*)
Penulis : Heri Suroyo
Editor : Rudi Alfian
Sumber Berita : Jakarta, MPR RI
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.