Laporan : Heri Suroyo
JAKARTA – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung langkah sejumlah warga masyarakat menggunakan kedaulatannya secara konstitusional, menyelenggarakan Petisi menolak pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara. Hidayat juga mendukung tokoh-tokoh bangsa yang mempergunakan hak konstitusionalnya mengajukan permohonan uji materi UU Ibukota Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia berharap para hakim MK akan menghadirkan kenegarawanan dengan mengabulkan permohonan tersebut.
“Salah satu syarat untuk menjadi hakim MK adalah negarawan. Dan saya berharap sembilan hakim MK yang ada sekarang akan memaksimalkan sifat kenegarawanan tersebut. Sehingga hakim MK terbebas dari kepentingan ataupun pressure politik, dan mengadili perkara tersebut secara objektif,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis(10/2).
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengatakan, antusiasme masyarakat menginisiasi, menandatangani Petisi, dan keberanian sejumlah tokoh bangsa mengajukan JR ke MK, menggambarkan sikap konstitusional yang tidak menyetujui pemindahan Ibukota dan UU IKN. Mereka mengajukan uji materi UU IKN ke MK juga sangat tepat dan wajar, karena memang begitulah koridor konstitusional yang ada. Di tokoh-tokoh itu adalah beliau-beliau yang tergabung dalam Poros Nasional Keadulatan Negara (PNKN).
“Seharusnya, pemerintah memberlakukan asas prioritas, dan fokus menyelamatkan warga dan negara dari pandemi covid-19. Bukan malah membuat project baru yang tidak urgent, dan tidak sebagaimana disampaikan di muka, proyek IKN itu akan membebani APBN juga. Padahal lebih bagus kalau anggaran tersebut (bila ada), digunakan untuk selamatkan Rakyat dan Negara untuk recovery dari Covid-19 dan dampak-dampaknya,” tukasnya.
HNW sangat mendukung permohonan uji materi UU IKN tersebut yang diajukan oleh banyak tokoh yang kredibel dan dengan trackrecord mereka yang sangat cinta bangsa dan negara, baik dari kalangan sipil maupun purnawirawan. Seperti Dr. Marwan Batubara, Dr Abdullah Hehamahua, Dr. KH Muhyidin Junaidi, Letjend TNI (Purn) Suharto, Mayjen TNI (Purn) Soenarko. Juga beberapa tokoh senior bangsa lainnya. Seperti Prof Sri Edi Swasono, Prof Azyumardi Azra, Prof Din Syamsuddin, Faisal Basri, Prof Busyro Muqaddas, dan Prof Rahmat Wahab. Juga melalui Narasi Institut menginisiasi Petisi bahwa pada 2022-2024 bukan waktu yang tepat memindahkan ibukota negara. Hingga pagi ini Petisi Penolakan Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara telah ditandatangani oleh hampir 24.500 an warga yang masih terus bertambah. Dan menjadi salah satu petisi dengan penandatangan terbanyak.
Sikap kritis dan penolakan dari kalangan Masyarakat seperti dalam bentuk Petisi dan JR ke MK, menurut HNW sangatlah wajar dan konstitusional. Selain permasalahan formil dan materiil, faktanya persetujuan UU IKN di parlemen juga tidak didapat dengan suara bulat. “Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) secara tegas menolak UU IKN tersebut karena masalah-masalah formil dan materiil. Seperti, tidak ada urgensi perpindahan ibukota di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung. Juga RUU yang dipersiapkan dan dibahas secara terburu-buru, tidak memenuhi aturan formil pembuatan UU. Serta kesiapan soal anggaran pembangunannya, yang bila ada dalam APBN pun sebaiknya digunakan untuk membantu warga dan program pemulihan ekonomi nasional lainnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan banyaknya dukungan masyarakat dan tokoh bangsa untuk penundaan atau menolak pemindahan ibukota negara dengan UU IKN-nya, ini menjadi bukti bahwa sikap PKS sejalan dengan masyarakat, tokoh, pakar, purnawirawan, hingga aktivis. “Jadi ada yang beranggapan apabila PKS menolak kebijakan, maka kebijakan tersebut sudah benar, jelas salah kaprah. Buktinya, soal UU IKN ini banyak pihak yang menolak. Yakni pakar, aktivis, purnawirawan, dan rakyat lainnya. Bahkan sebelumnya ada UU Ciptaker. PKS juga menolak. Dan ternyata UU Ciptakerja yang ditolak oleh PKS itu oleh MK dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat,” tambahnya.
HNW berharap sembilan hakim MK dapat melihat secara objektif berbagai permasalahan terkait pembuatan UU IKN. Termasuk tidak konsistennya Pemerintah soal APBN untuk anggaran pambangunan IKN, yang sampai hari ini pun belum ada kejelasan dan kepastiannya. Malah, anggarannya belum tercantum dalam APBN Tahun 2022. Apalagi, selain berkaitan dengan uji materi, ia memperkirakan warga juga akan mempersoalkan secara formil. “Karena proses pembuatan UU IKN ini bahkan lebih cepat dari UU Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK,” ujarnya.
Demi NKRI, HNW juga berharap agar MK bisa mempertimbangkan pengalaman dari Mahkamah Konstitusi negara lain. Misalnya MK Korea Selatan yang secara berani membatalkan rencana perpindahan ibukota pada 2004. “Beberapa pertimbangan MK Korea Selatan, di antaranya, adalah berkaitan dengan hak referendum dan hak pembayar pajak,” ujarnya.
“Aturan konstitusi di Indonesia dan Korea Selatan memang berbeda. Namun, ada hal yang harusnya jadi pegangan universal, bahwa masing-masing hak konstitusional Rakyat dalam negara Demokrasi harus dijaga dan dihormati dengan baik oleh MK. Agar Pemerintah dan DPR benar-benar memperhatikan hal tersebut saat membuat UU baik dari sisi formil, materil maupun substansiel. Apalagi bila UU itu menghadirkan kebijakan yang berdampak kepada seluruh warga bangsa dan negara, baik untuk masa sekarang maupun untuk anak cucu di masa yang akan datang, seperti soal UU IKN ini. Semoga Presiden segera menandatangani UU IKN, agar segera diundangkan. Dan supaya MK segera memutuskan soal UU IKN, demi kemaslahatan terbesar bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia,” pungkasnya.##
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.