Laporan : Heri Suroyo
JAKARTA – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang memvonis maksimal Herry Wiryawan. Pelaku pemerkosaan terhadap 13 santriwati, itu dipidana dengan hukuman mati. Hidayat Nur Wahid berharap vonis maksimal, ini dapat menjadi efek jera agar pihak yang lain mengurungkan kehendaknya bila akan melakukan kejahatan yang sangat bejat tersebut.
“Apresiasi kepada jaksa yang mengajukan banding atas vonis seumur hidup di pengadilan negara dan kepada majelis hakim pengadilan tinggi yang mengabulkan tuntutan hukuman mati,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (5/4).
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menilai vonis maksimal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Yaitu Pasal 81 juncto Pasal 76 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah melalui UU No. 17 Tahun 2016. Serta memenuhi rasa keadilan bagi para korban, dan mestinya didukung karena sejalan dengan komitmen Pemerintah juga DPR untuk memberantas kejahatan seksual yang semakin mengkhawatirkan. Ia menegaskan pelaksanaan instrumen hukum yang telah disediakan oleh Negara ini memang wajar dilaksanakan, sebagai bentuk konsistensi dan keseriusan melaksanakan hukum yang berlaku, juga memberi perlindungan terhadap korban apalagi para korban adalah anak-anak, serta memberantas kekerasan seksual.
HNW yang juga Anggota DPR RI Komisi VIII yang salah satunya membidangi perlindungan anak dan perempuan, ini berharap putusan tersebut dapat segera berkekuatan hukum tetap. Dan, apabila terpidana sekalipun mengajukan upaya hukum, seperti kasasi atau peninjauan kembali, maka Mahkamah Agung (MA) tetap menguatkan vonis Pengadilan Tinggi Bandung ini.
Selain itu, Hidayat menghimbau pelaksanaan hukuman matinya segera dilaksanakan setelah berkekuatan hukum tetap, agar efek jera dan pembelajaran yang diharapkan bisa diwujudkan. Juga agar pemenuhan rasa keadilan hukum terhadap para korban bisa segera diberikan. HNW juga menyoroti pentingnya menghadirkan restorative justice kepada para korban, apalagi mereka masih dalam usia anak, bahkan anak didik, baik dalam maksimalisasi perlindungan, kelanjutan sekolah, konseling dan ganti rugi yang maksimal, agar para korban dapat diselamatkan untuk melanjutkan hidupnya dengan cara yang baik.
HNW berharap aparat penegak hukum berani berlaku adil, dengan memberikan vonis dan perlindungan maksimal dalam perkara-perkara sejenis tanpa membedakan SARA. Karena kasus kejahatan/kekerasan seksual ini terjadi dengan latar yang berbeda-beda tanpa membedakan SARA. “Vonis maksimal seperti ini perlu diberlakukan kepada para penjahat kekerasan seksual terhadap perempuan atau anak yang kasusnya semakin banyak, semakin meluas, dan tanpa pandang bulu terkait SARA,” ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ini mengingatkan instrumen hukum yang tersedia di Indonesia seperti UU Perlindungan Anak, masih berlaku dan sangat memadai untuk menjerat pelaku dengan pemberatan, maupun vonis maksimal. Termasuk juga untuk maksimal dalam pemberian perlindungan terhadap korban. “Yang diperlukan adalah hadirnya para aparat penegak hukum yang konsisten dan berani menjatuhkan vonis tersebut, demi keadilan dan manfaat hukum,” ujarnya.
Bila negara serius melindungi korban apalagi anak-anak, dan serius dalam memberantas kekerasan seksual, maka komitmen keseriusan melindungi korban kejahatan seksual dan memberantasnya secara maksimal serta tuntas memang perlu dilakukan. “MIsalnya, dari segi ancaman hukuman mati yang harus ditegaskan, dan juga mencegah terjadinya kejahatan seksual melalui pintu masuk seksual consent tanpa pernikahan yang sah. Juga perlindungan terhadap para korban.Hal-hal seperti ini semestinya juga diperhatikan secara adil dan konsisten dalam pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sedang bahas di DPR,” pungkasnya.(*)
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.