JAKARTA – Anggota Komisi XII DPR RI, Ateng Sutisna, menilai kelangkaan BBM nonsubsidi yang terjadi di SPBU swasta sejak akhir Agustus 2025 merupakan krisis yang lahir dari kebijakan tidak sinkron antara sisi permintaan dan pasokan. Ia menyebut situasi ini sebagai “perfect storm” yang memukul konsumen sekaligus pelaku usaha.
Di sisi permintaan, kebijakan kewajiban penggunaan QR code untuk pembelian BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar memicu pergeseran konsumsi masyarakat. Data Kementerian ESDM menunjukkan, sekitar 1,4 juta kiloliter konsumsi berpindah ke BBM nonsubsidi. “Demand shock sebesar itu tidak mungkin bisa diantisipasi dalam waktu singkat,” jelas Ateng dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria, di Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Namun, pada saat yang sama, pemerintah membatasi pasokan untuk SPBU swasta melalui skema impor ‘satu pintu’. Pertamina menjadi satu-satunya pintu masuk impor tambahan, dan SPBU swasta diwajibkan melakukan kerja sama Business-to-Business (B2B) dengan BUMN migas tersebut.
“Di sinilah masalahnya. Permintaan melonjak tajam, tetapi pasokan justru dikunci. SPBU swasta akhirnya kekosongan stok, masyarakat yang jadi korban, dan karyawan SPBU kehilangan pekerjaan,” tegas Ateng.
Ia menilai kondisi ini bukan hanya soal keterlambatan kapal pengangkut atau kendala distribusi, melainkan persoalan struktural dari desain kebijakan. “Kalau tidak ada sinkronisasi antara regulasi, masalah seperti ini akan terus berulang,” kata Ateng.
Untuk mencegah krisis berulang, Ateng menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan energi, khususnya dalam hal keterlibatan swasta. “UU Migas sebenarnya mendorong pasar terbuka. Jadi jangan ada kebijakan yang justru menutup ruang kompetisi sehat,” pungkasnya. []
Penulis : Heri Suroyo
Editor : Desty
Sumber Berita : Jakarta
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.