Laporan : Heri Suroyo
JAKARTA – Wakil Ketua MPR Arsul Sani memberi penjelasan tentang isu amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang muncul dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD. Isu amandemen UUD NRI Tahun 1945 itu muncul dalam pidato pengantar Ketua MPR Bambang Soesatyo dan pidato pengantar Ketua DPD La Nyalla Mattalitti dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD pada Kamis, 16 Agustus 2023.
Arsul Sani mengatakan amandemen yang disampaikan Ketua MPR dan Ketua DPD terdapat perbedaan yang substansial. “Dalam pidato pengantar Ketua MPR, amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang dimaksud adalah amandemen yang sifatnya terbatas, yaitu untuk menempatkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan keperluan adanya aturan-aturan konstitusional bila terjadi situasi kedaruratan yang menyebabkan pemilu tidak bisa dilaksanakan. Aturan konstitusional itu belum ada,” katanya usai Peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-78 MPR di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Sedangkan amandemen dalam pidato pengantar yang disampaikan Ketua DPD adalah amandemen untuk kembali pada UUD 1945 yang asli (sebelum perubahan), setelah itu dilakukan addendum. “Bagi kami di MPR, apa yang disampaikan Ketua DPD adalah hak konstitusional dan pendapat DPD. Kita hormati,” ujar Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP ini.
Namun, lanjut Arsul Sani, amandemen UUD baik usulan MPR maupun DPD harus mengikuti aturan dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Dalam pasal itu disebutkan amandemen UUD harus memenuhi persyaratan-persyaratan, antara lain usul amandemen harus diajukan oleh sepertiga dari seluruh anggota MPR. Saat ini anggota MPR (gabungan anggota DPR dan anggota DPD) berjumlah 711 anggota. “Jadi minimal amandemen UUD harus diajukan oleh 237 anggota. Kalau hanya DPD yang jumlah 136 anggota saja yang mengusulkan amandemen UUD, maka belum cukup untuk mendorong proses amandemen UUD,” terangnya.
Selain itu, lanjut Arsul Sani, pasal (apa) yang diamandemen pun harus jelas. “Amandemen UUD tidak seperti membahas UU. Pembahasan amandemen hanya sesuai usulan yang akan diamandemen. Jadi kalau tidak ada dalam proposal usulan amandemen, maka usulan lain untuk amandemen tidak bisa muncul tiba-tiba,” imbuhnya.
Arsul menambahkan Pimpinan MPR telah berkomunikasi dengan Presiden dan menyepakati diskursus amandemen dengan menyertakan partisipasi publik dilakukan setelah Pemilu 14 Februari 2024. “Kenapa setelah Pemilu 2024? Karena kalau amandemen UUD NRI Tahun 1945 dilakukan sebelum pemilu maka bisa muncul persepsi dan prasangka-prasangka buruk di masyarakat bahwa amandemen UUD itu adalah cara untuk menghidupkan kembali wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu,” katanya.
“Jika sekarang muncul wacana amandemen, MPR dan Presiden sudah mempunyai kesepahaman bahwa tidak ada proses amandemen UUD sebelum pemilu dilaksanakan. Setelah Pemilu 14 Februari 2024 masih ada waktu 6 bulan untuk melakukan proses amandemen UUD. Nanti kita lihat, karena kita juga harus mendengarkan pendapat publik. Kalau kita tidak bisa melakukan amandemen sampai akhir masa jabatan MPR periode saat ini, kita sudah mempersiapkan bahan amandemen untuk MPR periode mendatang,” pungkasnya.(*)
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.