Laporan : Heri Suroyo
JAKARTA – Serat Wulang Reh merupakan salah satu serat atau ajaran piwulang yang sangat populer dan digemari masyarakat Jawa jaman dahulu selain Serat Wredhatama yang ditulis oleh Sri Paduka Pakubuwono IV Raja Surakarta dalam bahasa Jawa dalam bentuk tembang Gending Jawa.
Srat Wulang Reh merupakan salah satu sumber aspirasi lahirnya Pancasila oleh Pendiri Bangsa Ir Soekarno dalam pidatonya didepan Sidang Badan Penyelidik Usaha – Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, tentang Falsafah Dasar Negara.
Ajaran Wulang Reh sendiri penuh dengan ajaran filosofi tentang laku (jalan) hidup yang harus dijalani sebagai manusia seutuhnya. Baik secara jasmani maupun rohani sebagai upaya membangun masyarakat yang beradab.
Wulang Reh dapat dimaknai ajaran atau tata cara untuk mencapai tingkat laku tindakan untuk mencapai dan menuju hidup yang bisa saling memahami yang mengutamakan moral untuk membangun pribadi yang dapat menempatkan diri di semua posisi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Utamanya sebagai sebuah komunitas bersama di dalam masyarakat yang plural seperti di Indonesia tercinta. Kita merdeka karena adanya keinginan bersama dari beberapa perbedaan kultur budaya adat-istiadat untuk mencapai tujuan bersama. Merdeka menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wulang dalam bahasa Jawa memiliki arti ajaran atau pitutur, sedangkan Reh mempunyai arti jalan atau aturan. Serat Wulang Reh adalah karya sastra yang ditulis dan diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro ke IV dari Surakarta.
Serat Wulang Reh mengajarkan kepemimpinan tata kelola kerajaan dan ajaran tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari berbagai golongan yang berbeda. Ajarannya mengandung aspek-aspek sosiologi terutama dibidang Inter Group Relation.
Apa yang penulis tekankan disini, diarahkan untuk fenomena kepemimpinan masa kini. Khususnya paska reformasi, dimana semua orang bisa menyampaikan berpendapat yang memang diatur oleh Kontitusi. Utamanya berkaitan dengam faktor kepemimpinan yang memang juga ditulis dalam Serat Wulang Reh.
Mengacu pada ajaran dalam serat atau tulisan sastra dalam Wulang Reh, ada empat aspek untuk mencapai kepemimpinan yang ideal untuk dijadikan pedoman dalam Tata Kelola Kepemimpinan, yaitu :
Den Ajembar
Yang artinya harus luas, yang bisa dimaknai disini diri kita harus mempunyai pandangan pemikiran dan hati yang luas, bisa menerima masukan. Baik dari bawah, dari tengah maupun golongan atas, yang bisa dijadikan pengambilan keputusan secara tepat dan bijak.
Den Momot
Artinya bisa memuat. Maknanya bahwa jikalau diri kita bisa menjalani pada fase ajaran Den Ajembar agar kita bisa memuat menampung dan menerima segala aspirasi rakyat. Baik dari bawah, golongan menengah maupun dari kalangan atas. Syarat utama dari bisa menampung memuat aspirasi adalah adanya wawasan pandangan dan hati yang luas sesuai dengan aspek Den Ajembar.
Lawan Den Wengku
Artinya bisa melawan ambisi sendiri. Maknanya adalah diri kita harus bisa menghilangkan ego pribadi, kepentingan diri dan golongan kita untuk dapat mengelola tata kelola baik di dalam kekuasaan maupun dalam bisnis. Dalam bahasa sederhananya untuk mengatur Kawulo dan Gusti, bawahan dan atasan.
Den Koyo Segoro
Maknanya, apabila kita bisa menjalankan hal-hal yang diajarkan ketiga aspek diatas, yaitu bisa menampung aspirasi dari bawah hingga atas, dan bisa menahan diri dan menghilangkan ego pribadi. Dimana hidup didedikasikan seluruhnya untuk kemaslahatan umat atau kawulo atau rakyat.
Maka diri kita akan bisa memiliki ilmu, wawasan, pandangan, dan hati seluas samudera. Seperti halnya para pemimpin-pemimpin jaman kerajaan dulu yang tertulis harum dalam sejarah bangsa ini.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah para pemimpin saat ini sudah menjalani, melaksanakan dan memenuhi kriteria dengan apa yang telah ditulis dan diajarkan oleh Paduka Mangkunegoro IV dari Surakarta dalam serat Wulang Rehnya?
Baik Anggota Dewan, Partai Politik dalam sistem multi partai, aparat penegak hukum; hakim, jaksa, Kepolisian Negara Republik Indonesia, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi, selaku benteng keadilan dalam seluruh strata.
Tiada gading yang tak retak, tapi setidaknya marilah kita berusaha untuk menjalankan apa yang telah ditulis sebagai ajaran laku dari para leluhur raja-raja tanah Jawa agar menjadi insan kamil. Utamanya demi terciptanya manusia Indonesia yang adil dan beradab, menuju Indonesia yang adil makmur gemah ripah loh jinawi, toto trentrem kerto raharjo.(*)
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.