LAMPUNG UTARA – Kepala UPT Pasar Propau Kecamatan Abung Selatan bantah terima retribusi sampah senilai Rp40 ribu rupiah tiap bulan dari pedagang setempat.
Kendati demikian, dirinya tak menampik adanya penarikan salar (retribusi) pasar Rp4 ribu rupiah setiap harinya.
“Yang saya ketahui, setiap bulannya kami menerima setoran retribusi sampah Rp20 ribu untuk totalnya mencapai Rp3,2 juta untuk dibagikan pada 3 petugas kebersihan,” jelasnya, saat disambangi di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Lampung Utara, Senin, 21 Juli 2025.
Dana yang dibagikan sudah termasuk untuk biaya reparasi armada bentor pengangkut sampah.
“Jadi jika ada pungutan lebih dari tarif yang ditentukan, saya pastikan itu pungli oleh oknum tak bertanggung jawab. Akan saya tindaklanjuti persoalan ini kebawah,” tegasnya.
Mengenai limbah sampah yang disebut masih dibuang tidak pada lokasi yang sudah ditentukan, dirinya belum mengetahui pasti mengenai informasi tersebut.
Sebab, kata dia, petugas kebersihan sejak awal sudah diintruksikan untuk memungut sampah dan membawa ke penampungan sementara yang ada di Workshop (lahan samping SDABMBK) yang ada di Jalan Soekarno-Hatta Kebun Empat Kotabumi.
“Kalau sampah itu pembuangannya ke TPS sementara di workshop Kotabumi, jadi tidak dibuang sembarangan,” jelasnya.
Pihaknya juga dalam waktu dekat akan menertibkan pedagang kaki lima yang menganggu akses jalan warga disana.
“Segera akan ditertibkan, kita juga akan berkolaborasi dengan pihak Pemdes Bandar Kagungan Raya,” tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Warga Desa Bandar Kagungan Raya (BKR) keluhkan keberadaan pedagang kaki lima (PKL) Pasar Propau yang membuka lapak jual di badan jalan desa hingga menyebabkan terhambatnya mobilitas selama berkendara.
Hal itu dikatakan Kepala Desa Bandar Kagungan Raya, Imzak Zulkarnain diruang kerjanya, Senin, 21 Juli 2025.
Menurutnya, warga yang berdatangan mengeluhkan persoalan keberadaan para PKL ini yang menyebabkan menyempitnya jalan desa sehingga, warga yang ingin melintas tak bisa lewat saat pembeli memenuhi lapak PKL.
Tak hanya itu, limbah (sampah) yang dihasilkan oleh para pedagang juga tata kelolanya disebut semrawut.
Sebab, kata dia, selama ini pengelolaan sampah di pasar tak maksimal, meski kini armada bentor pengangkut sampah telah disiapkan, namun kenyataan di lapangan masih saja dibuang tidak pada tempat yang ditentukan.
“Masih ditumpuk atau dibuang di TPS liar sam si oknum pedagang. Jadi keluhan warga ini bukan hanya soal keberadaan pedagang yang memakai baju jalan, tapi persoalan limbah (sampah) itu yang jadi keluhan,” jelasnya.
Pihak Pemdes BKR sebelumnya telah melayangkan surat resmi sebagai teguran pada pengelola pasar yang dinilai tidak mampu menertibkan pedagang dan menanggulangi limbah yang dihasilkan.
“Sudah diserahkan dan diterima pihak pengelola. Tapi sampai hari ini belum ada respon atau langkah konkret. Sampah masih berserakan di TPS liar, pedagang masih saja berdagang di badan jalan,” kata dia.
Mengenai tatakelola sampah, sambung dia, menurut pedagang disana mereka selalu ditarik iuran bulanan senilai Rp20 – Rp40 ribu setiap bulannya. Untuk retribusi harian pedagang mengaku diminta untuk membayar Rp4 ribu rupiah.
“Untuk lebih jelasnya, bisa langsung dikonfirmasi ke para pedagang di pasar propau,” ujarnya.
Sementara, salah satu pemilik toko SBR, inisial S membenarkan prilaku para pedagang PKL yang menjajakan dagangannya sampai ke jalan.
Bahkan, dirinya pun merasa terganggu saat akan melewati jalan menuju tokonya. Keluhan tersebut sudah sempat disampaikan ke pihak pengelola pasar setempat. Namun, hingga hari ini tak ada tindakan tegas terhadap para pedagang kaki lima.
“Jangankan warga sini dek, kami ini yang jualan disini juga merasa terganggu, mobil tidak bisa lewat. Gimana mau lewat, setengah badan jalan itu penuh barang dagangan,” keluhnya.
Padahal, di tengah melemahnya minat pembeli, para pemilik kios dan pedagang lainnya dibebankan biaya (retribusi) sampah Rp40 ribu setiap bulannya. Belum lagi uang salar Rp4.500 setiap harinya.
“Toko lagi sepi, tapi iuran biaya bulanan sampah Rp40 ribu jojong (berjalan) terus, belum lagi uang salar tiap hari Rp4,500 yang ditarik sama Pemda lewat pengelola pasar,” tuturnya.
“Uang itu belum termasuk pajak (sewa) kios Rp800 ribu setiap tahunnya. Persoalan di pasar ini sepertinya karena pak Ansori kurang tegas,” timpalnya lagi.[]
Penulis : Rudi Alfian
Editor : Nara
Sumber Berita : Lampung Utara
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.