Catatan: Anis
SEBUT saja Mbak Nur (58) salah seorang Ibu Rumah Tangga yang tinggal di sekitaran Rajabasa harus kehilangan haknya untuk memilih pada Pemilu 2024.
Ceritanya, Mbak Nur ini harus menjalani perawatan saat Subuh (05.30 WIB) pada 14 Februari 2024 kemarin, akibat sakit yang diderita.
Bagi Mbak Nur, sakit yang dialami tidak menghalangi dirinya jika hanya sekedar coblos mencoblos surat suara.
Dimana, 5 kertas suara harus di coblos sesuai dengan niat dan kecintaan dan mungkin “arahan”. Satu kertas suara Pilpres, satu kertas sura untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Satu kertas suara DPR RI, satu lagi DPRD Provinsi, terakhir kertas suara DPRD Kabupaten kota.
Meski tangan di infus, mbak Nur terus menanti TPS keliling yang masuk ke RS Bayangkara Rajabasa dimana Mbak Nur dirawat. Hingga pukul 12.00 WIB tak satupun kotak TPS atau petugas yang masuk ke RS.
Ah kalau mungkin dipukul 13.00 WIB disamakan sebagai daftar pemilih tambahan, harapan Mbak Nur untuk menyalurkan aspirasi politiknya pun sirna. Karena tak ada perugas TPS/KPPS yang singgah ke RS.
Mungkin cerita ini sebuah pengharapan, pada masa yang akan datang. Tidak hanya sekedar berfikir kalah menang apalagi ‘memenangkan’. Penyelengara Pemilu juga berfikir hak-hak kewarganegaraan yang mesti serius diperhatikan.
Ini seorang mbak Nur dan mungkin puluhan pasien pada hari itu. Jika seluruh RS seluruh Indonesia? Plus 1-2 orang penunggu? Banyak juga om, mas, tante penyelenggara Pemilu. Siapa yang bertanggungjawab atas ke alfaan ini?. Tabik
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.