Laporan : Heri Suroyo
JAKARTA – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid menyesalkan vonis majelis hakim terhadap Herry Wiryawan, pelaku pemerkosaan dan kejahatan seksual terhadap 13 santriwati yang masih dibawah umur. Putusan tersebut, menurut Hidayat tidak memenuhi rasa keadilan karena hanya dijatuhi hukuman seumur hidup, tanpa pemberatan dengan dikebiri. Dan tanpa penyitaan harta untuk diberikan kepada para korban. Itu semua juga tidak sesuai dengan tuntutan maksimal jaksa yaitu hukuman mati dengan pemberatan dikebiri dan penyitaan harta untuk diberikan kepada para korban.
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid juga menyesalkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menerima vonis hakim itu. Padahal vonis itu tidak sesuai dengan sanksi maksimal dalam UU Perlindungan Anak. Karena itu HNW berharap, Jaksa mengajukan banding sesuai dengan tuntutan-tuntutannya yang memenuhi rasa keadilan dan komitmen memberantas kejahatan seksual apalagi yang berlaku terhadap anak-anak.
“Di tengah maraknya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak, dan keseriusan Pemerintah serta DPR mengundangkan RUU TPKS, hakim tidak menjatuhkan vonis maksimal sesuai tuntutan jaksa. Apalagi kalau merujuk pada Pasal 81 ayat (1-5)jo. Pasal 76 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah melalui UU No. 17 Tahun 2016, kejahatan seksual yang dilakukannya sangat biadab, dan layak mendapatkan sanksi hukum maksimal hingga hukuman mati, dengan pemberatannya, karena jumlah korban lebih dari 1, malah 13,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (16/2).
Kejahatan yang dilakukan Herry kata HNW berulang-ulang sejak 2016 sampai 2021. Bahkan, kejahatannya berdampak serius kepada para korban, karena 9 diantaranya hingga melahirkan. Apalagi posisinya sebagai guru yang seharusnya mendidik dan mengayomi muridnya, tapi malah melakukan kejahatan seksual berulang terhadap santriwati-santriwatinya itu.
“Putusan hakim dengan hukuman seumur hidup, dengan alasan keadilan bagi korban, malah tidak bisa memenuhi keadilan untuk para korban sesuai ketentuan dalam UU Perlindungan Anak yang masih berlaku,” tukasnya.
Vonis seumur hidup yang tidak diperberat dengan hukuman kebiri dan penyitaan harta sebagai kepedulian terhadap para korban, kata HNW adalah vonis yang tidak memenuhi keadilan publik. Putusan tersebut juga tidak memperlihatkan keberpihakan kepada korban serta keseriusan dalam pemberantasan kejahatan seksual.
“Padahal, baik hukuman mati, hukuman kebiri, hingga penyitaan harta adalah legal dan sangat dimungkinkan oleh UU yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah terakhir kali melalui UU No. 17 Tahun 2016 dan yang bersangkutan sangat layak dijatuhi hukuman yang berlaku di negara hukum Indonesia,” pungkasnya.##
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.