JAKARTA – Wakil Ketua Badan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa menyatakan, keputusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal bersifat final dan mengikat. Namun proses politik dan legislasi tetap memiliki ruang yang sah dalam sistem demokrasi, sehingga tidak serta merta bisa dijalankan.
“Putusan MK itu final dan mengikat, tapi tidak serta merta semuanya bisa langsung dijalankan. Harus ada kebijakan, regulasi, dan undang-undang yang mengatur pelaksanaannya. Itu kewenangan DPR dan pemerintah,” ujar Agun dalam diskusi bertajuk Menata Ulang Demokrasi : Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu, Rabu (6/8).
Politisi senior Partai Golkar menyampaikan, bahwa bangsa Indonesia saat ini hidup dalam sistem ketatanegaraan yang terbuka. Oleh karena itu, tidak seharusnya masyarakat terlalu cepat membandingkan kondisi sekarang dengan saat UUD disahkan pada 18 Agustus 1945. “Sekarang sistem sudah terbuka. Fenomena-fenomena seperti putusan MK atau hal-hal lain adalah konsekuensi dari kehidupan demokratis yang harus kita hormati,” ucap Agun.
Menurut Agun perbedaan pendapat dalam menyikapi putusan MK merupakan hal yang wajar. Dia mengingatkan, bahwa keputusan MK adalah produk hukum yang harus dihormati, namun pelaksanaan kebijakan tetap berada di ranah eksekutif dan legislatif, yakni Presiden dan DPR. Sementara pengamat politik, Abdul Hakim MS menyatakan, bahwa putusan MK, yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan lokal seperti sabdo pandito ratu, final dan mengikat.
Padahal, mengenai pemisahan itu merupakan ranah dari DPR RI. “Seharusya, MK hanya di sektor yudisial, bukan membentuk norma baru,” kata Abdul Hakim. Dia pun menilai, MK saat ini telah menjelma menjadi lembaga superbody yang tidak memiliki mekanisme pengawasan. “Pertanyaannya, saat memutuskan pemisahan itu, apakah MK sudah berdiskusi dengan Bawaslu, KPU dan masyarakat sipil?. Belum sama sekali, tetapi sudah final dan mengikat,” terang Abdul Hakim. Padahal, itu menyangkut seluruh rakyat Indonesia.
Ia mendorong agar revisi UU Pemilu mengacu secara ketat pada UUD 1945, termasuk memperhatikan banyaknya putusan MK terdahulu mengenai kepemiluan.
“Ini momentum bagi DPR dan pemerintah untuk menyusun Undang-Undang Pemilu yang lebih utuh, dengan dasar utama konstitusi. Prinsip NKRI sebagai negara kesatuan dan pemerintahan presidensial harus menjadi acuan utama. Pemilu harus diarahkan untuk memperkuat sistem presidensial dan memperkuat kedaulatan rakyat,” ujar Agun.
Agun juga menyoroti pentingnya membedakan mekanisme pemilu nasional dan daerah berdasarkan amanat pasal-pasal dalam UUD, yakni Pasal 22E dan Pasal 18.
Menurut Agun, pemilihan kepala daerah memang seharusnya tidak disamakan dengan pemilu legislatif karena adanya nilai-nilai lokal (local wisdom) dan dinamika sosial yang berbeda-beda di tiap daerah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI) Abdul Hakim MS mengkritisi kecenderungan MK yang menurutnya telah menjalankan fungsi judicial activism, bukan sekadar judicial restraint.
Dia menilai MK telah memasuki wilayah pembentuk norma yang seharusnya menjadi ranah legislatif.
Penulis : Heri Suroyo
Editor : Hadi
Sumber Berita : MPR RI
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.