BANDAR LAMPUNG – Konsep Demokrasi 5.0 dan penggunaan e-voting harus mulai dipikirkan oleh pemerintah Indonesia. Sebuah gagasan visioner yang menawarkan pembaruan sistem politik berbasis teknologi ditengah perubahan zaman yang semakin maju.
Pegiat Lampung Democracy Studies (LDS) Dr. Fathul Mu’in, menilai gagasan ini merespons kebutuhan zaman, di mana masyarakat dituntut tidak hanya sebagai objek pemilu, tetapi juga sebagai subjek aktif yang terlibat dalam proses demokrasi secara transparan, efisien, dan berbasis data. Salah satu wujud konkret dari visi ini adalah penerapan e-voting, sistem pemungutan suara elektronik yang mengintegrasikan teknologi verifikasi biometrik seperti face recognition, sidik jari, dan validasi data melalui e-KTP. Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, berada pada posisi strategis untuk merancang dan mengimplementasikan konsep ini secara bertahap menuju Pemilu 2029.
Komisi II DPR, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum, pegiat demokrasi perlu untuk mulai memikirkan transformasi pemilu berbasis digital melalui sistem electronic voting (e-voting) dan teknologi digital lainnya. Penggunaan teknologi dalam pemilu bukan lagi sekadar wacana futuristik, melainkan langkah strategis yang harus dilakukan demi mewujudkan demokrasi yang efisien, transparan, dan minim kecurangan. Pemangku kepentingan perlu untuk berpikir teknokratik bahwa demokrasi 5.0 perlu untuk Indonesia. Bahwa seiring kemajuan zaman dan perkembangan teknologi informasi, e-voting sudah sangat mungkin diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2029.
“Konsep Demokrasi 5.0 merupakan kelanjutan dari revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0, yang memadukan teknologi cerdas dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pendekatan ini bertujuan menciptakan proses pemilu yang inklusif, efisien, dan bebas dari kecurangan. Sistem e-voting menawarkan solusi untuk berbagai masalah klasik dalam pemilu konvensional, seperti tingginya biaya logistik, potensi manipulasi hasil, serta keterbatasan jangkauan geografis,” kata Dosen Program Studi Hukum Tatanegara UIN Raden Intan Lampung tersebut.
Pemilu 2024, misalnya, menyedot anggaran hingga Rp71 triliun lebih. Dengan adopsi e-voting, anggaran tersebut diproyeksikan dapat ditekan, penghematan signifikan yang dapat dialihkan untuk sektor strategis lainnya. E-voting yang ideal mencakup sistem verifikasi biometrik di Tempat Pemungutan Suara (TPS), di mana setiap pemilih akan divalidasi melalui teknologi pengenalan wajah atau sidik jari. Setelah lolos verifikasi, pemilih dapat menggunakan perangkat digital (tablet) untuk memilih secara langsung. Hasil suara kemudian dikirim secara real-time ke server nasional, sementara salinan bukti suara dicetak untuk keperluan audit oleh KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, dan saksi partai politik. Sistem ini tidak hanya mempercepat rekapitulasi suara, tetapi juga meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi potensi manipulasi.
Namun, merancang sistem Demokrasi 5.0 tidak bisa dilakukan secara instan. Indonesia perlu membentuk tim lintas lembaga yang terdiri dari KPU, Bawaslu, Komisi II DPR RI, serta melibatkan para pakar keamanan siber, akademisi, dan masyarakat sipil. Tim ini bertugas menyusun roadmap e-voting yang mencakup tahap uji coba di daerah tertentu, penyusunan regulasi perlindungan data pribadi, penguatan kapasitas penyelenggara pemilu, hingga literasi digital bagi pemilih. Selain tantangan teknis seperti jaringan internet dan keamanan data, kepercayaan publik menjadi faktor penting dalam keberhasilan e-voting. Oleh karena itu, keterbukaan sistem, pengawasan independen, dan pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan perlu dijamin.
“Merancang Demokrasi 5.0 bukan hanya soal digitalisasi sistem pemilu, tetapi tentang membangun demokrasi yang adaptif, transparan, dan relevan dengan tuntutan zaman. E-voting menjadi pintu masuk untuk memperkuat legitimasi pemilu, memperluas partisipasi, dan menjamin hasil yang lebih cepat, murah, dan akurat. Jika dirancang dan diterapkan dengan cermat, Indonesia akan menjadi pelopor demokrasi digital di kawasan Asia Tenggara, sebuah langkah besar menuju masa depan demokrasi yang cerdas dan berdaya,” jelasnya.
Namun, transformasi besar ini tidak dapat dilakukan tanpa landasan hukum yang kuat dan terpadu. Di sinilah pentingnya rencana penyusunan Omnibus Law di bidang regulasi pemilu. Saat ini, kerangka hukum pemilu Indonesia tersebar dalam berbagai undang-undang seperti UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik, yang seringkali tumpang tindih dan tidak responsif terhadap kebutuhan digitalisasi. Melalui pendekatan Omnibus Law, pemerintah dan DPR berupaya merangkum, merevisi, dan menyelaraskan berbagai peraturan tersebut ke dalam satu regulasi terpadu yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan tantangan demokrasi masa depan.
Omnibus Law regulasi pemilu diharapkan mencakup sejumlah aspek penting, mulai dari legalitas penerapan e-voting, sistem keamanan siber, perlindungan data pribadi pemilih, tata kelola infrastruktur server, hingga mekanisme audit digital dan forensik pemilu. Tidak hanya itu, peran KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara juga perlu disesuaikan dengan era digital, termasuk dalam hal pengawasan sistem elektronik dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Di samping aspek teknis, penting pula diatur mekanisme pelibatan masyarakat, akses pemilih disabilitas, serta jaminan keterbukaan dan akuntabilitas sistem secara menyeluruh.
Penulis : Yulizar Kundo
Editor : Ahmad Novriwan
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.