Salah satu bahan ekstraksi yang dianggap kritis adalah etanol. Sementara, bila bubuk akar teratai diekstraksi menggunakan pelarut organik, relatif tidak kritis.
“Untuk menambah kelarutan ketika dikonsumsi, kadang ekstrak tumbuhan secara umum dapat ditambahkan bahan seperti carboxy methyl cellulose (CMC) dan maltodekstrin yang kritis,” jelasnya.
Lebih lanjut, Raafqi menjelaskan terkait kandungan kolagen dan logo halal MUI pada produk bubuk akar teratai di Indonesia. Raafqi menyebut, beberapa sumber menyatakan bahwa bubuk akar teratai bisa merangsang produksi kolagen.
Sementara sumber lainnya menuliskan, dalam satu kemasan bubuk akar teratai sudah mengandung kolagen.
“Jika bubuk akar teratai dapat merangsang produksi kolagen, artinya tidak mengandung kolagen sehingga dapat dikatakan bahwa produk ini masuk dalam daftar bahan tidak kritis,” jelas Raafqi.
“Jikapun mengandung kolagen yang berasal dari akar teratai, maka ini tidak masalah karena berasal dari tumbuhan. Namun, lain halnya ketika dalam satu kemasan disebut mengandung kolagen,” lanjutnya.
Pasalnya, kolagen merupakan protein alami yang berasal dari hewan. Raafqi menjelaskan, bagian hewan yang digunakan sebagai sumber kolagen adalah kulit, tulang keras, dan tulang rawan.
“Karena itu, sumber kolagen menjadi titik kritis kehalalan yang pertama. Sumber kolagen harus dipastikan berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariah,” kata Raafqi.
Produk bubuk akar teratai yang saat ini diperjualbelikan masih banyak yang belum berlogo Halal MUI. Raafqi menyarankan konsumen Muslim untuk tetap memilih produk yang sudah berlabel halal, termasuk saat membeli bubuk akar teratai. ##
Sumber : kompas.com
1 2
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
Halaman : 1 2