Laporan : Heri Suroyo
JAKARTA – Perkuat ketahanan ekonomi dengan mempertahankan keunggulan sumber daya manusia dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam mengantisipasi tantangan global.
“Kita tidak bisa menutup mata terhadap kondisi krisis global terkait ketegangan di Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina yang berpotensi berdampak terhadap Indonesia,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Memperkuat Ketahanan Ekonomi Menghadapi Ancaman Resesi di Akhir 2023 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (8/11).
Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA. (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Fauzi H. Amro, M.Si. (Anggota Komisi XI DPR RI), Prof. Wiwiek Rabiatul Adawiyah M.Sc., Ph. D. (Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto) dan Hendri Saparini, Ph.D (Founder dan Ekonom CORE Indonesia) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Windy Dyah Indriantari (Wartawan Ekonomi Media Indonesia) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, dampak krisis global dan perubahan iklim yang terus berlanjut mesti diantisipasi dengan sejumlah kebijakan yang menunjang ketahanan ekonomi dalam negeri.
Meski, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, di tengah prediksi melambatnya perekonomian global, perubahan iklim, dan menurunnya harga komoditas ekspor unggulan, perekonomian Indonesia berdasarkan catatan BPS tumbuh 4,94% (yoy).
Menurut Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, optimisme itu harus diimbangi dengan kewaspadaan. Apalagi, ujar dia, terjadi kenaikan suku bunga, kenaikan harga minyak, pelemahan nilai rupiah dan penurunan devisa dalam sebulan terakhir.
Bagaimana kita memperkuat sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang kita miliki sebagai persiapan menghadapi tantangan tersebut, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, adalah sebuah keniscayaan.
Anggota Komisi XI DPR RI, Fauzi H. Amro mengungkapkan berdasarkan indikator ekonomi yang ada saat ini Indonesia belum masuk pada resesi, karena pertumbuhan ekonomi masih sesuai dengan asumsi makro.
Diakui Fauzi, saat ini ada tanda-tanda kenaikan harga minyak mentah dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah, di tengah pertumbuhan ekonomi yang cukup baik.
Fauzi berharap dalam 1,5 bulan terakhir ini, meski ada dampak global, Indonesia mampu menghadapi dampak gejolak perekonomian global yang berpotensi menimbulkan resesi.
Dalam upaya mencegah resesi, menurut Fauzi, pemerintah perlu memperkuat ketahanan perekonomian nasional, yang salah satunya dengan menghindari potensi konflik di tahun politik.
Langkah yang tidak kalah penting, tegas Fauzi, pemerintah harus memperkuat ekonomi mikro dengan memperkuat jaringan UMKM yang ada dan mempermudah akses permodalan, dalam upaya mendukung penguatan fundamental ekonomi dalam menghadapi krisis.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof. Wiwiek Rabiatul Adawiyah berpendapat secara garis besar ada indikasi menuju resesi karena perekonomian nasional sangat terkait dengan dampak kebijakan perekonomian sejumlah negara mitra dagang.
Menurut Wiwiek, potensi resesi harus diwaspadai karena dampaknya luar biasa terhadap ketersediaan lapangan kerja, investasi dan kebijakan ekonomi dalam negeri.
Namun, ungkap dia, dari hasil survey Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) secara umum masyarakat tidak melihat kekhawatiran terjadi resesi ekonomi di Indonesia, meski masyarakat melihat juga adanya kenaikan harga minyak dan bermunculannya pengangguran.
Wiwiek mendorong kerja sama yang kuat antara pemerintah dan swasta sehingga menghasilkan kebijakan yang komprehensif di sisi ekonomi makro dan sektor ekonomi mikro dengan mengembangkan potensi lokal setiap daerah.
Menurut Wiwiek, perlu dikembangkan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, akademisi dan kalangan bisnis, dalam proses penguatan sektor ekonomi mikro.
Selama ini, ungkap dia, kebijakan-kebijakan makro sulit dipahami oleh masyarakat bawah, sehingga perlu didekati dengan kebijakan yang diterapkan secara bersamaan untuk penguatan di sektor makro dan ekonomi mikro.
Founder dan Ekonom CORE Indonesia, Hendri Saparini, Ph.D menilai kekhawatiran resesi di dalam negeri karena perekonomian negara partner dagang Indonesia pertumbuhan ekonominya melambat merupakan hal yang wajar.
Namun, jelas Hendri, secara teknis kondisi inflasi membaik, meski belum mencapai level sebelum pandemi. Diakui dia, hingga saat ini Indonesia belum memiliki kebijakan moneter yang efektif mencegah aliran dana keluar ke negeri.
Nilai tukar rupiah, tambah Hendri, tertekan selama dibayangi kekhawatiran kenaikan suku bunga The Fed. Meski diakuinya cadangan devisa Indonesia masih cukup kuat untuk menopang gejolak nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, ungkap dia, nilai ekspor Indonesia juga melambat karena negara tujuan ekspor Amerika Serikat dan China saat ini mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas lewat ekonomi hijaunya.
Bila kondisi tersebut tidak segera disikapi dengan tepat, tambah Hendri, akan menimbulkan masalah serius di sektor manufaktur.
Menurut Hendri untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi 5% pada 2023 dan 2024 bukan masalah besar.
Karena sejatinya, tegas dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia 70% bertumpu pada ekonomi dalam negeri. Sehingga masih banyak ruang bagi kita untuk bertahan dari ancaman krisis.
Hendri berpendapat perlu dibenahi strategi dan arah pembangunan ekonomi dalam jangka panjang, karena pertumbuhan ekonomi 5% saja tidak cukup.
Perekonomian Indonesia butuh tumbuh lebih tinggi dan inklusif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.
Menanggapi hal itu Wartawan bidang Ekonomi Media Indonesia, Windy Dyah Indriantari mengungkapkan pendapat para pakar yang optimistis resesi tidak terjadi pada 2023 merupakan kabar gembira.
Windy sepakat tahun depan harus ada perbaikan dalam pengelolaan ekonomi nasional yang lebih baik lagi. Diakui perlu juga dijaga daya beli masyarakat agar bisa mendorong belanja.
Windy berharap di tahun politik belanja masyarakat bisa lebih tinggi lagi sehingga bisa ikut menggerakkan perekonomian nasional.##
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.