Laporan : Heri Suroyo
JAKARTA – Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menyoroti kualitas investasi yang masih belum mendukung keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pasalnya, meskipun realisasi investasi sesuai target, namun kualitasnya dipertanyakan. Hal ini didasarkan pada capaian investasi padat modal yang tidak mendukung pemerataan lapangan pekerjaan. Nilai investasinya besar, namun serapan tenaga kerja minim. Selain itu, investasi mayoritas tertuju pada pembangunan fisik, namun minim pada riset dan pengembangan. Padahal, di era disrupsi, pembangunan sumber daya manusia sangatlah penting.
“Kita tentu mengapresiasi capaian investasi. Namun jika ini dianggap optimal, maka tentu jawabannya adalah tidak. Investasi bukan sekadar berapa banyak modal yang ditanam, namun apa dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat. Jika investasi justru meminggirkan kesempatan kerja, maka investasi itu tentu tidaklah berkualitas. Kita mesti jujur menyatakan bahwa tantangan investasi masih sangat banyak. Apalagi jika investasi itu justru berdampak pada deindustrialisasi,” ucap Politisi Senior Partai Demokrat ini.
Menurutnya, dengan 83 persen investasi tertuju pada sektor konstruksi dan bangunan, dan nihil pada riset dan pengembangan berdasarkan data Asian Productivity Organization (2022), maka inovasi dan daya saing ekonomi dipertaruhkan. Ini bahkan semakin paradoks dengan tren deindustrialisasi yang makin nyata. Kontribusi sektor manufaktur terus menurun: dari 26,36 persen pada 2009, terus menurun menjadi 21,08 persen (2014), 19,7 persen (2019), hingga 18,34 persen pada 2022. Padahal sektor manufaktur menyerap banyak tenaga kerja.
Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini meminta pemerintah agar tidak saja bersolek dengan data kuantitas investasi, namun yang terpenting adalah dampak dari investasi itu pada pengentasan pengangguran dan penurunan kemiskinan. Bonus demografi akan menjadi beban pembangunan jika kesempatan kerja tidak tercipta. Ini mesti diurai dan dicarikan solusinya, mengapa kontribusi sektor manufaktur kian menurun. Apakah ini menandaskan tingkat daya saing pekerja yang rendah, ataukah memang insentif investasi di sektor manufaktur tidak dioptimalisasi.
“Ini perkara keberpihakan. Tujuan pembangunan harusnya berdimensi kemanusiaan, terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika investasi hanya menciptakan ketimpangan, tidak menimbulkan dampak pengganda bagi masyarakat, maka ada yang salah dengan strategi investasi itu. Saatnya berbenah, merumuskan skema pembangunan yang tepat arah dan berkelanjutan. Ini harus dimulai dengan sikap menerima masukan dengan lapang dada dan tidak saja lihai mengumbar data, yang terkadang delusif,” tutup Syarief.(*)
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.