SEMARANG— Langkah akademik Abdul Malik Syafei mencapai puncaknya dalam sidang terbuka promosi doktor di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Sabtu, 26 Juli 2025. Bertempat di ruang seminar lantai 1 Fakultas Hukum, Malik sukses mempertahankan disertasinya di hadapan sembilan guru besar dan pakar hukum, dan meraih gelar doktor ilmu hukum dengan predikat _summa cumlaude_.
Lisertasi Abdul Malik yang berjudul *“Rekonstruksi Regulasi Syarat Saksi Perkawinan di Indonesia Berbasis Nilai Keadilan Gender”* bukan sekadar karya akademik biasa. Ia menyentuh wilayah sensitif dalam sistem hukum Islam di Indonesia: peran perempuan sebagai saksi dalam akad nikah. Dalam pandangan Malik, ketentuan hukum yang ada saat ini masih menyisakan celah diskriminasi yang perlu segera dibenahi secara konstitusional, filosofis, dan sosiologis.
“Saya ingin hukum Islam yang kita anut tidak berhenti pada tataran teks, tetapi mampu menjawab tantangan keadilan sosial secara kontekstual, terutama bagi perempuan,” ujar Ketua PCNU Palembang ini usai sidang.
*Disertasi Berbasis Keadilan Gender*
Menggunakan pendekatan konstruktivisme hukum dan metode _socio-legal research_, Malik membedah ketentuan Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan PMA No. 30 Tahun 2024 yang menyebut bahwa saksi nikah harus dua orang laki-laki muslim. Dalam pandangan Malik, ketentuan ini tidak hanya menutup partisipasi perempuan, tetapi juga mencederai semangat keadilan yang dijamin dalam UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila.
Disertasi tersebut memperlihatkan bahwa wacana keadilan gender bukanlah gagasan asing dalam Islam. Ia menyoroti QS. Al-Baqarah ayat 282 sebagai pintu masuk kontekstualisasi pandangan fikih mengenai kesaksian, termasuk dalam peristiwa hukum seperti akad nikah.
Pengasuh Pondok Pesantren Minjahul Aulia ini juga menampilkan studi komparatif dengan negara-negara muslim seperti Mesir, Yordania, dan Turki yang telah memberi ruang lebih luas bagi perempuan untuk menjadi saksi dalam pernikahan.
*Deretan Penguji Bergengsi*
Dalam sidang terbuka ini, Malik diuji oleh sembilan tokoh hukum dan akademisi dari berbagai institusi, di antaranya:
1. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt., M.Hum (Rektor Unissula)
2. Prof. Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H (Dekan Fakultas Hukum Unissula)
3. Prof. Dr. Anis Mashdurohatun, S.H., M.Hum (Rektor Universitas Wahid Hasyim)
4. Prof. Dr. Mahmutarom HR, S.H., M.Hum
5. Prof. Dr. Abdel Salam Atwa Ali Al Fandi dari University of Jordan
6. Buya Yahya (Prof. Yahya Zaenul Muarif, Lc., M.A., Ph.D.)
Ketua tim penguji, Prof. Dr. Gunarto menyampaikan apresiasi atas keberanian Malik mengangkat isu yang belum banyak disentuh secara akademik.
“Ini bukan sekadar disertasi, ini adalah tawaran konkret untuk reformasi hukum perkawinan yang lebih adil dan inklusif,” ujar Gunarto.
Senada, Buya Yahya menambahkan bahwa keberpihakan terhadap keadilan harus menjadi roh dari setiap regulasi yang lahir atas nama Islam.
*Tiga Strategi Reformasi*
Sebagai bagian dari kontribusinya terhadap dunia hukum nasional, Malik mengusulkan tiga strategi utama untuk mereformasi syarat saksi dalam pernikahan:
1. Judicial Review terhadap pasal-pasal diskriminatif di KHI dan PMA.
2. Legislative Review melalui revisi regulasi oleh DPR dan pemerintah.
3. Executive Review oleh Kementerian Agama untuk kebijakan teknis yang lebih responsif terhadap inklusivitas gender.
“Tujuan utama saya adalah agar hukum yang hidup di masyarakat benar-benar mencerminkan nilai keadilan yang universal, bukan hanya tekstual,” pungkas Malik. (*)
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.