JAKARTA – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Nasir Djamil menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) harus difokuskan pada tiga aspek utama, yakni kewenangan daerah, kebijakan fiskal, dan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Tiga hal tersebut dinilai sebagai pilar utama dalam menjaga kekhususan dan keistimewaan Aceh sebagai daerah otonomi khusus.
Nasir menjelaskan, evaluasi terhadap pelaksanaan UUPA selama hampir dua dekade menunjukkan perlunya peningkatan kualitas dan kejelasan dalam pengaturan ketiga aspek tersebut. Ia menilai revisi UUPA bukan hanya untuk memperbarui regulasi, tetapi juga untuk memastikan hak dan kekhususan Aceh benar-benar dijalankan secara optimal.
“Sebenarnya yang dievaluasi itu ada tiga hal. Pertama soal kewenangan, kedua soal fiskal, dan ketiga soal pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Tiga hal inilah yang harus dievaluasi dan ditingkatkan kualitasnya,” ujar Nasir
Djamil kepada Parlementaria usai mendengar aspirasi dari Gubernur Aceh di Banda Aceh, Provinsi Aceh, Selasa (21/10/2025).
Dalam hal fiskal, Nasir menyoroti pentingnya pengaturan dana otonomi khusus agar tidak memiliki batas waktu dan tetap berkelanjutan. Ia menilai, keberlanjutan dana tersebut menjadi bentuk nyata pengakuan negara terhadap status kekhususan Aceh.
“Bukan hanya soal dana otonomi khusus yang diharapkan bisa mencapai 2,5 persen, tetapi juga agar dana itu berlaku selamanya tanpa jeda. Pelaksanaan syariat Islam juga perlu dibiayai oleh APBN sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan negara terhadap keistimewaan Aceh,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nasir mengusulkan agar dalam revisi UUPA nanti dibentuk kementerian atau lembaga khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh. Menurutnya, selama ini belum ada instansi yang secara tegas memiliki tanggung jawab tersebut di tingkat nasional.
“Selama ini kan belum jelas siapa yang bertanggung jawab. Mungkin nanti perlu ada kementerian atau lembaga di bawah presiden yang memastikan pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh berjalan dengan baik,” katanya.
Terkait hubungan revisi UUPA dengan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, Nasir menilai dokumen perdamaian tersebut tetap menjadi inspirasi dan dasar historis lahirnya UUPA. Ia menyebut sebagian besar butir MoU telah diakomodasi dalam UUPA, namun masih perlu dilihat kembali poin-poin yang belum sepenuhnya terserap.
“MoU Helsinki itu semacam inspirasi. Sebagian besar sudah ada dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, tapi nanti kita lihat mana yang belum diserap. Dalam UUPA sendiri, MoU Helsinki sudah dicantumkan dalam penjelasan sebagai bentuk pengakuan bahwa perjanjian itu menjadi tonggak lahirnya perdamaian dan dasar terbentuknya UU Pemerintahan Aceh,” ujar Nasir.
Nasir menegaskan bahwa revisi UUPA harus tetap berpijak pada koridor hukum nasional dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar hasil revisi nantinya memiliki kepastian hukum sekaligus memperkuat semangat perdamaian di Aceh.
Penulis : Heri Suroyo
Editor : Desty
Sumber Berita : DPR RI
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.