BANDAR LAMPUNG – Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc., menyampaikan Presidential Lecture bertajuk “Produktivitas, Keberlanjutan, dan Kesejahteraan Petani” dalam acara Gala Dinner Kongres XIX & Konfernas XX PERHEPI di Hotel Emersia, Bandar Lampung, yang berlangsung pada 13-15 Februari 2025. Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung tersebut mengungkapkan ada tiga tantangan terbesar sektor pertanian.
Acara kongres ini secara resmi dibuka oleh Penjabat (PJ) Gubernur Lampung, Dr. Drs. Samsudin, S.H., M.H., M.Pd., dan diselenggarakan oleh Komisariat PERHEPI Lampung sebagai tuan rumah, dengan ketua pelaksana Dr. Teguh Endaryanto, S.P., M.Si., dosen Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Kongres ini dihadiri oleh ratusan akademisi, peneliti, praktisi, serta pemangku kebijakan dari berbagai wilayah di Indonesia, yang berdiskusi mengenai tantangan dan arah kebijakan ekonomi pertanian ke depan.
Dalam pidatonya, Prof. Bustanul Arifin menyoroti tantangan besar yang dihadapi sektor pertanian Indonesia, termasuk stagnasi produktivitas, permasalahan keberlanjutan, serta ketimpangan kesejahteraan petani.
Ia mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,03%, sementara sektor pertanian hanya mencapai pertumbuhan 0,67% (y-on-y). Khusus untuk subsektor tanaman pangan, pertumbuhan bahkan mengalami kontraksi -0,21%, yang memunculkan pertanyaan besar tentang efektivitas berbagai program pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan.
“Kinerja sektor pertanian masih terlalu mengandalkan peningkatan luas panen, bukan pada inovasi teknologi yang lebih maju. Ini menyebabkan stagnasi produktivitas selama lebih dari dua dekade,” tegas Prof. Bustanul.
Beliau juga menyoroti penurunan produksi padi yang signifikan pada tahun 2024, yaitu 52,71 juta ton gabah kering giling (GKG) atau turun 2,35% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, produksi beras mengalami penurunan hingga 730 ribu ton, sementara konsumsi beras meningkat, menciptakan ancaman terhadap ketahanan pangan nasional.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya inovasi dalam budidaya dan pascapanen, di mana sebagian besar petani masih bergantung pada metode konvensional. Prof. Bustanul menegaskan bahwa stagnasi produktivitas ini hanya bisa diatasi melalui peningkatan adopsi teknologi pertanian cerdas, penerapan pertanian presisi, serta reformasi kelembagaan penyuluhan dan riset pertanian agar lebih efektif dalam mendukung petani.
Selain tantangan produktivitas, Prof. Bustanul juga menyoroti pentingnya pembangunan pertanian yang berkelanjutan di tengah ancaman perubahan iklim. Beliau menjelaskan bahwa fenomena El-Nino 2023 telah menyebabkan penurunan produksi beras hingga 800 ribu ton, yang memicu lonjakan harga hingga mencapai Rp15.000/kg.
“Sektor pertanian masih menjadi salah satu penyumbang gas rumah kaca (GRK) terbesar, terutama dari metode budidaya padi dengan sistem genangan, penggunaan pupuk kimia berlebihan, serta pembakaran jerami,” ungkapnya.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan inovatif seperti penerapan pertanian regeneratif, teknologi hemat air, serta optimalisasi pupuk hayati dan organik untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan ketahanan sektor pertanian.
Beliau juga menggarisbawahi pentingnya reforestasi dan praktik agroforestri dalam menjaga keseimbangan ekosistem pertanian, serta perlunya regulasi yang lebih tegas untuk menghindari eksploitasi lahan pertanian secara berlebihan yang dapat berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya alam.
1 2 3 Selanjutnya
Penulis : Hadi
Editor : Rudi Alfian
Sumber Berita : Unila
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya