Saya, Fili Bahuri, bungsu dari 6 bersaudara yang berasal dari keluarga miskin di pelosok dusun Sumatera Selatan, dimana dimasa kecil saya telah memahami petuah orang tua terutama ibu, tentang pentingnya pendidikan untuk mengubah keadaan khususnya kondisi ekonomi keluarga yang sangat sulit saat itu.
Dengan segala keterbatasan ekonomi keluarga, apalagi usai ditinggal wafat ayah, saya menguatkan tekad dan diri untuk terus sekolah setinggi-tingginya agar nasib dapat berubah, seperti kata ibu.
Berat dan perih memang..
Di kala teman SD berangkat diantar orang tua atau saudaranya dengan sepeda, saya harus berjalan kaki “nyeker” pergi dan pulang ke sekolah sejauh 16 KM setiap hari, karena tidak memiliki sandal apalagi sepatu.
Bayar SPP sekolah saat itu juga bukan dengan uang, melainkan “barter” buah kelapa, ikan atau durian. Alhamdulillah Kepala Sekolah SD menerima kelapa atau durian atau ikan hasil tangkapan sendiri sebagai pengganti uang SPP.
Semasa SMA, saya ikut kakak mengontrak di dekat SMA 3 Palembang, dan saya ingat betul, setiap pulang sekolah bersama kakak, kami mencari ikan di rawa untuk di tukar dengan pisang serta beras ketan.
Beras ketan dan pisang tersebut dibuat pepes ketan oleh kakak, dan saya yang menjualnya ke warung-kewarung atau “ngider” dari kampung ke kampung. Dari hasil berjualan pepes ketan, kami gunakan untuk membayar uang sekolah.
Untuk membeli peralatan dan keperluan sekolah lainnya, saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang cuci mobil, atau menjual spidol yang saya beli di Pasar Cinde, lalu saya jual kembali dengan sedikit keuntungan di Taman Ria Palembang.
Usia tamat SMA, saya yang jelas tidak memiliki uang untuk melanjutkan jenjang pendidikan di Universitas, mendaftarkan diri ikut sekolah yang dibiayai negara yakni Akabri. 3 kali saya mendaftar, 3 kali juga gagal diterima saat itu.
Saya memutuskan untuk masuk sekolah Bintara, dan lulus menjadi anggota polisi berpangkat Sersan. Meski sudah bekerja, petuah ibu tentang pentingnya pendidikan tidak pernah saya lupakan sehingga saya putuskan untuk kembali mengikuti tes Akabri untuk yang keempat dan kelima kalinya, namun gagal. Barulah kesempatan yang ke-6 pada tahun 1987 saya bisa dierima sebagai Capratar (Calon Prajurit Taruna).
1 2 3 4 5 Selanjutnya
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya