Di tengah bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global, pemerintah sesungguhnya sedang berjibaku menghadapi tantangan berat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tumpuan utama untuk menahan dampak guncangan agar tidak kian menyengsarakan rakyat. Namun, harapan itu tidak berjalan mulus.
Alarm defisit anggaran mulai berbunyi—pertanda situasi yang patut diwaspadai. Masalah yang kita hadapi lebih dalam dari sekadar angka defisit. Gelombang isu dugaan penyimpangan anggaran di lingkungan pemerintah daerah Lampung bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Kasus ini memantik krisis kepercayaan publik yang akut, menjadi cermin dari penyakit sistemik di lapisan birokrasi.
Sebagai Ketua Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Lampung, saya memandang persoalan ini telah merusak sendi-sendi fundamental kepercayaan publik terhadap transparansi dan kinerja aparatur negara. Inisiatif organisasi pemuda untuk melakukan pengawasan mandiri di berbagai satuan kerja adalah bentuk perlawanan sehat terhadap budaya korupsi yang seakan dinormalisasi. Namun, untuk memahami akar masalah, kita mesti membuka lensa lebih lebar. Apa yang terjadi di Lampung hanyalah cerminan kecil dari kontradiksi kebijakan dan krisis akuntabilitas di tingkat pusat.
Pemerintah pusat getol menggembar-gemborkan penghematan anggaran. Namun, pada saat yang sama, struktur kabinet justru “gemuk” dengan jumlah menteri dan pejabat setingkat menteri yang membengkak.
Bagaimana semangat berhemat bisa dijalankan secara sungguh-sungguh jika struktur di level puncak justru menunjukkan pemborosan? Kebijakan ini ibarat memaksa rakyat mengencangkan ikat pinggang, sementara istana berpesta. Kondisi ini menciptakan preseden buruk dan mengukuhkan kecurigaan publik bahwa uang rakyat mudah dialihkan untuk kepentingan yang tidak produktif.
Wajah efisiensi anggaran pun terlihat timpang. Alokasi untuk sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan justru dipangkas signifikan—langkah yang tidak hanya inkonstitusional tetapi juga tidak berperikemanusiaan.
Di saat yang sama, dana negara dialihkan ke proyek-proyek “strategis” baru seperti Danantara, yang model bisnisnya rawan menjadi bibit skandal besar ala 1MDB. Prioritas pemerintah menjadi terang: mengorbankan kepentingan rakyat banyak demi proyek mercusuar berisiko tinggi.
Sebagaimana saya sampaikan, “Efisiensi anggaran adalah upaya mengoptimalkan penggunaan sumber daya finansial untuk mencapai tujuan dengan biaya seminimal mungkin, tanpa mengurangi kualitas hasil.” Definisi ideal ini sayangnya jauh panggang dari api.
Instruksi Presiden untuk penghematan anggaran memang menjadi keniscayaan, mengingat warisan beban utang dan kondisi ekonomi global yang sempit. Namun, efektivitasnya suram jika kita menilik tiga sumber utama inefisiensi kronis berikut:
Praktik korupsi ibarat tumor ganas yang menggerogoti tubuh anggaran negara. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan ASN dan pejabat publik menunjukkan nilai fantastis. Selama uang rakyat masih bocor untuk kepentingan pribadi dan kelompok, efisiensi hanyalah slogan kosong.
Mekanisme pengawasan internal masih rapuh dan rentan diintervensi kepentingan politik. Ironisnya, sebuah daerah bisa menyandang predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tetapi tak lama kemudian pimpinannya justru ditangkap karena korupsi. Fakta ini membuktikan adanya kongkalikong untuk menipu sistem.
Evaluasi keberhasilan program masih terpaku pada laporan administratif, bukan pada dampak riil bagi masyarakat. Sebuah program dianggap “berhasil” karena laporan rapi—bukan karena menyelesaikan masalah di akar rumput.
Pemerintah tidak lagi bisa meminta kepercayaan publik hanya dengan retorika efisiensi. Kepercayaan harus dibangun dengan tindakan nyata:
Informasi anggaran harus terbuka dan mudah diakses publik. Pengawasan masyarakat sipil, seperti yang digagas GPN Lampung, perlu didukung dan direplikasi secara nasional.
Kasus di Lampung harus dituntaskan secara terbuka. Sementara proyek-proyek berisiko tinggi di tingkat pusat mesti diawasi ketat agar tidak menjadi ladang korupsi baru.
Pemerintah harus berani melakukan penataan ulang struktur birokrasi yang gemuk, menghentikan proyek mercusuar, dan mengembalikan anggaran ke khittahnya: untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Kritik dan gelombang pengawasan masyarakat bukan ancaman, melainkan alarm penting. Solusinya bukan efisiensi yang memiskinkan rakyat, melainkan efisiensi yang membasmi kebocoran, memperkuat pengawasan, dan memastikan setiap rupiah dari uang rakyat benar-benar bekerja untuk rakyat.
Jika tidak, krisis kepercayaan ini bukan hanya akan melumpuhkan pembangunan, tetapi juga perlahan menggerus masa depan bangsa.
Oleh: Adi Chandra Gutama
Ketua Gerakan Pemuda Nusantara (GPN Lampung)
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.