Laporan : Heri Suroyo
JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menegaskan, bahwa bentuk hukum PPHN apakah nanti cukup berdasarkan Undang-undang atau melalui suatu konsesus konvensi ketatanegaraan akan sangat tergantung pada kebutuhan rakyat. Kalau rakyat menilai PPHN cukup dengan undang-undang, selesai. Tapi kalau tidak cukup hanya dengan undang-undang karena akan mudah dibatalkan, baik melalui judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi), atau diterpedo oleh Perppu pada periodesasi presiden berikutnya, maka harus ada cara atau jalan keluar memecahkan persoalan itu tanpa melalui amandemen atau melalui TAP MPR.
Seperti diketahui, pada hakikatnya, fungsi utama MPR adalah lembaga pelaksana kedaulatan rakyat. Karena seluruh anggota MPR (DPR dan DPD) adalah wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum (pemilu). Sehingga keputusan MPR harus berdasarkan kehendak mayoritas rakyat.
“Suara mayoritas yang saya pahami berdasarkan pertemuan langsung dalam kunjungan silahturahmi kebangsaan ke para tokoh bangsa, pimpinan partai politik, pimpinan organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan berbagai elemen bangsa seperti Forum Rektor Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau BRIN, PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu (MATAKIN), serta sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ada kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini untuk memiliki kembali perencanaan jangka panjang yang mampu mengikat kesinambungan dari setiap periodesasi pemerintahan yang satu dengan yang berikutnya. Baik pusat maupun daerah. Sehingga tidak ada lagi uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak, sia-sia menjadi proyek mangkrak karena tidak diteruskan atau diselesaikan,” ujar Bamsoet.
Seperti diketahui, berdasarkan laporan hasil Badan Pengkajian MPR RI, ada tiga alternatif pilihan bentuk hukum PPHN. Pertama, jika PPHN dalam bentuk rumusan pasal-pasal Konstitusi, maka kewenangan membentuk PPHN seharusnya ada di tangan MPR, sebagai satu-satunya lembaga perwakilan yang lengkap dan memiliki kekuasanan politik tertinggi, dimana salah satunya mengubah dan menetapkan UUD.
“Namun alternatif ini tidak direkomendasikan, karena jika diatur dalam Konstitusi, mekanisme perubahan akan sulit dilakukan, sedangkan PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Di samping itu, karena PPHN bersifat direktif, maka materi PPHN tidak mungkin dirumuskan hanya dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam Konstitusi,” ujar Bamsoet saat menjadi narasumber dalam podcast ‘Back to BDM’ bersama Budiman Tanuredjo, di Jakarta, Sabtu (10/9).
1 2 Selanjutnya
*Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.